Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyarankan tiga langkah yang bisa dilakukan pemerintah dan pelaku ekspor tekstil Indonesia agar industri itu bisa terselamatkan di tengah ancaman resesi global 2023.
Pertama, Indonesia harus lebih cepat mencari pasar ekspor baru yang potensial. Ia berharap pemerintah lebih cepat bersaing dengan negara-negara pengekspor tekstil lainnya.
Apalagi pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara kini mencapai 5,5 persen berdasarkan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) 2022. Walaupun kedua kawasan itu pertumbuhannya diprediksi melambat tahun depan di kisaran 3 persen, perekonomiannya masih tumbuh positif.
Di sisi lain, karena profil dari industri tekstil di Indonesia masih banyak yang berupa outsourcing dari brand internasional, pengalihan pasar pun akan bergantung dari merek internasional tersebut.
Kedua, Bhima menyarankan pada eksportir maupun pemerintah untuk berkomunikasi dengan pihak merek internasional itu. Dengan begitu, Indonesia masih akan tetap dipilih sebagai basis produksi para pemegang merek tersebut.
Terakhir, Bhima menyarankan agar pelaku ekspor melakukan beberapa penyesuaian, khususnya berkaitan dengan bahan dan selera konsumen Afrika dan Timur Tengah. Sebab, kualitas dan selera masyarakat di sana sangat berbeda dengan konsumen di Eropa dan Amerika Serikat.
"Warna dan jenis kainnya itu ada perbedaan, ada karakter khusus. Nah ini mungkin perlu mendapatkan perhatian juga," ujar Bhima.
Selain itu, perluasan pasar ekspor juga harus dibarengi dengan pemberian relaksasi dan upaya mencegah terjadinya PHK. Misalnya, menaikkan subsidi upah untuk sektor tekstil atau insentif pajak.
Baca juga: 64 Ribu Karyawan Terkena PHK dari 124 Perusahaan Tekstil di Jawa Barat
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.