TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengingatkan ancaman resesi yang mengintai ekonomi global pada 2023. Menurut Tauhid, Indonesia harus bersiap menghadapinya.
“Ya sekarang kita harus bersiap-siap, jalurnya yang pertama trennya adalah kebijakan moneter akan ketat,” ujar dia melalui sambungan telepon pada Sabtu, 29 Oktober 2022.
Menurut Tauhid, kredit akan semakin mahal. Karena untuk investasi dananya akan semakin terbatas, cost of fund-nya naik lagi, karena suku bunga naik. Sehingga, kata dia, sumber untuk ekspansi usaha akan terbatas.
Selain itu, Tauhid menuturkan inflasi terutama barang-barang impor akan terpengaruh, karena mereka adjustment cost post-nya naik. “Karena masing-masing negara misalnya Amerika, Cina atau negara lain yang inflasinya naik, itu pengaruh barang yang mereka jual ke kita kan, itu merambat naik,” ucap Tauhid.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan resesi bisa terjadi karena pelbagai faktor, mulai perubahan iklim hingga meningkatnya tensi geopolitik. Bendahara negara pun mengatakan APBN akan terus menjadi instrumen untuk menjaga stabilisasi perekonomian, tapi jika ancaman-ancaman tidak diantisipasi, APBN akan bocor.
“Tantangan-tantangan masyarakat dan ekonomi yang continuously di bawah tekanan dan shock ini bukan kaleng-kaleng, istilahnya shock-nya sangat besar, yang memang kemudian jika APBN sendiri tidak tahan, APBN-nya jebol duluan, kalau APBN jebol duluan, ekonomi ikut jebol,” katanya di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2022.
APBN, kata Sri Mulyani, akan tetap berperan sebagai shock absorber. APBN selalu menjadi instrumen penahan tekanan gejolak krisis, sama halnya seperti pada masa pandemi Covid-19.
Dia pun berharap APBN tetap mampu merespons gejolak global sehingga ketahanan ekonomi di dalam negeri terjaga. Mantan Diektur Bank Dunia itu pun menyampaikan tata-kelola APBN perlu terus dijaga. Sebab jika salah pengelolaan, keberadaannya bukan hanya merugikan perekonomian, tapi bisa memicu krisis global.
Kondisi itu sebelumnya menimpa Inggris dan Sri Lanka. Inggris mengalami inflasi tertinggi dalam 40 tahun, sedangkan Sri Lanka bangkrut dan produk domestik brutonya minus hingga 8,4 persen.
Sri Mulyani menyebut tantangan yang masih perlu diwaspadai tahun depan adalah ancaman akibat perubahan iklim dan ketegangan geopolitik yang terus berlangsung. Sehingga menyebabkan disrupsi pasokan global yang memicu lonjakan inflasi.
“Lonjakan inflasi secara global pun memicu bank sentral di banyak negara mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga secara agresif,” kata dia.
KHORY ALFARIZI | ARRIJAL RACHMAN
Baca Juga: Chatib Basri Bicara Batas Dampak Resesi Global ke Perekonomian Indonesia
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.