Sementara itu, Profesor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai rancangan aturan itu tak realistis. Sebab, target yang dituangkan dalam perpres tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Apalagi, kecenderungan kebijakan Pemerintahan Jokowi kerap membuat lahan pertanian menyusut. “Ada 508.000 hektare di Jawa saja terjadi peralihan lahan selama 10 tahun terakhir. Ini mau nambah 700.000 hektare. Dari mana, jatuh dari langit?” kata Dwi.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron sebelumnya mengkritik Rancangan Peraturan Presiden (RPepres) soal percepatan swasembada gula yang dinilai tak berisi pasal yang menyejahterakan petani. “Seharusnya ada klausul atau pasal yang secara jelas menyatakan bahwa output Perpres ini untuk kesejahteraan petani,” ujarnya, Selasa lalu.
Menurut Herman, rancangan beleid itu lebih banyak berisi soal stabilisasi harga ketimbang mendorong swasembada gula. Padahal, semestinya Perpres semestinya berorientasi pada bagaimana peningkatan rendemen sejalan dengan revitalisasi pabrik gula.
Ia menyebutkan keberhasilan swasembada gula konsumsi sangat bergantung kepada petani tebu. Adapun tebu nasional dipasok oleh petani karena setengah area atau sekitar 229 ribu hektare berasal dari petani.
Herman juga mendorong Program SugarCo untuk dioptimalkan. Program pemerintah yang bertujuan untuk membangun kemitraan berkelanjutan melalui penyediaan benih unggul bisa didorong untuk menyediakan sarana produksi, terutama pupuk (Program Makmur), serta membuka akses yang luas bagi petani terhadap sumber pendanaan, informasi dan teknologi. Dua hal ini harus dipastikan berjalan baik di lapangan.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa pun angkat bicara menangggapi Rancangan Perpres tentang percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030 yang telah beredar terus dan disorot publik.
Selanjutnya: Produksi gula nasional diharapkan juga bisa untuk diekspor.