TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perkembangan dari pandemi sudah semakin terkendali. Bahkan Amerika Serikat mengatakan sudah berakhir pandeminya. Hal itu membuat risiko telah beralih dari pandemi ke kondisi ekonomi dan keuangan.
"Terutama dengan lingkungan global yang makin bergejolak," ucapnya dalam konferensi APBN Kita secara virtual pada Jumat, 21 Oktober 2022.
Ia menyebutkan harga komoditas utama dunia yang sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi di berbagai negara masih relatif tinggi dan volatilitasnya sangat tinggi. Dimulai dari harga gas fluktuatif, lalu harga batu bara yang masih bertahan US$ 400 per metrik ton. "Meskipun kemarin sempat turun di bawah US$ 400 per metrik ton," kata dia.
Harga minyak dunia juga turun dari sebelumnya yang sempat mencapai US$ 126 per barrel. Harga crude palm oil atau CPO yang menjadi komoditas unggulan Indonesia juga turun drastis dalam satu setengah bulan terakhir. Harga kedelai juga turun meski masih bergejolak. Kemudian harga jagung yang sempat turun, sekarang merambat naik kembali.
"Poinnya, harga komoditas ini masih sangat tidak pasti," ucapnya. Naiknya harga komoditas-komoditas tersebut diakibatkan faktor-faktor geopolitik, seperti perang Ukraina dan Rusia. Situasi itu telah mengganggu sisi pasokan dan distribusi, sehingga cenderung membuat harga dari komoditas menjadi tinggi dan mudah sekali bergejolak.
Kenaikan harga komoditas tersebut yang memicu tingginya level inflasi di berbagai negara. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan di Inggris telah diumumkan inflasinya menembus angka 10 persen dan diprediksi tinggi dalam beberapa saat.
"Kita semua mengikuti politik di Inggris di mana mulai menteri keuangannya diganti dan perdana menterinya turun. Ini menandakan bahwa yang terjadi baik dari sisi ekonomi dan keuangan telah berimbas pada kondisi politik," ucapnya.
Inflasi Amerika Serikat pun masih tinggi di level 8,2. Sehingga, kata Sri Mulyani, makin membulatkan tekad dan determinasi Federal Reserve untuk menaikan suku bunganya. "Diperkirakan sampai akhir tahun di angka 4,5 persen," kata dia.
Kondisi ekonomi Eropa juga semakin tertekan karena harga-harga yang meningkat. Sekarang inflasi Eropa merambat di level 10, terutama di harga energi yang telah menyebabkan gejolak dan tekanan sosial.
Adapun negara-negara emerging juga mengalami kenaikan inflasi. Misalnya, Brazil yang inflasinya agak mengalami penurunan ke level 8,7. Sama halnya dengan Mexico yang level inflasinya di 8,7. Sedangkan India di level 7 dan Indonesia level 6.
Dengan inflasi yang tinggi dan harga-harga yang bergejolak, ia berujar respons kebijakan moneter juga diperlukan untuk untuk menstabilkan harga. Caranya, dengan menaikan suku bunga dan menetapkan liquiditas. Ia menilai outlook dari perkonomian global menjadi melemah seiring dengan kenaikan harga dan pengetatan kebijakan moneter. "Nah kalau ini dilakukan oleh Amerika Serikat pasti akan berdampak pada seluruh dunia," kata dia.
Baca Juga: Ancaman Resesi, Gubernur BI Yakin Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan Tembus 5,3 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.