TEMPO.CO, Yogyakarta - Asosiasi pemilik apotek di wilayah Daerah Istinewa Yogyakarta (DIY) angkat bicara soal kebijakan sepihak Kementerian Kesehatan terkait larangan peresepan obat sirup seiring ramainya kasus gagal ginjal akut pada anak.
Kebijakan Kementerian Kesehatan itu dinilai membingungkan karena bertolak belakang dengan kebijakan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Baik BPOM dan IAI sendiri hingga kini masih mengijinkan obat cair beredar meski harus dengan resep dokter.
"Kebijakan larangan meresepkan obat sirup Kemenkes ini menimbulkan kebingungan pelaku usaha apotik dan apoteker di lapangan," kata Ketua Ketua Himpunan Seminat Masyarakat (asosiasi apotek) Pengurus Daerah IAI DI Yogyakarta, Tunggul Wardani, pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Baca: Kasus Gagal Ginjal Akut, Jokowi: Pengawasan Industri Obat Harus Diperketat
Tunggul membeberkan petugas apotik selama ini belum mendapatkan informasi yang jelas dari pemerintah soal kasus yang terjadi dan peredaran obat di Indonesia. "Informasi yang muncul di masyarakat akhirnya simpang siur, mereka hanya mengandalkan informasi dari media sosial yang belum jelas kebenarannya, terutama soal obat-obat cair tertentu," tuturnya.
Lebih jauh, Tunggul menjelaskan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sekitar 800-an apotek beroperasi. Dari tiap apotek itu, mayoritas atau 60 persen produk yang dipajang adalah obat sirup.
Dengan adanya pelarangan peresepan obat sirup dari Kementerian Kesehatan tersebut, menurut Tunggu, tentu sangat berdampak bagi bisnis apotek.
"Ada beberapa apotek anggota kami yang sejak larangan itu muncul, langsung menutup display obat cairnya. Jadi hanya menjual obat bentuk tablet," kata Tunggul.
Selanjutnya: Penjualan obat cair anjlok 40 persen.