TEMPO.CO, Jakarta - Dana Moneter Internasional atau IMF mencatat penguatan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang berbagai negara saat ini terus terjadi. Lembaga tersebut memperkirakan, setiap kali dolar AS menguat akan langsung memengaruhi kenaikan inflasi sebuah negara.
Wakil Direktur Eksekutif IMF Gita Gopinath dan Direktur Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam tulisan terbarunya berjudul 'How Countries Should Respond to the Strong Dollar' mengatakan, posisi dolar AS saat ini sudah yang tertinggi sejak 2000.
"Dolar berada pada level tertinggi sejak tahun 2000, setelah terapresiasi 22 persen terhadap yen, 13 persen terhadap Euro dan 6 persen terhadap mata uang pasar berkembang sejak awal tahun ini," kata mereka dikutip dari tulisannya itu, Sabtu, 15 Oktober 2022.
Baca: Bursa AS Jeblok ke Level Terendah dalam Dua Tahun Terakhir, Bagaimana Nasib IHSG?
Penguatan dolar AS yang begitu tajam dalam hitungan bulan, berdasarkan catatan IMF, memiliki implikasi makroekonomi yang cukup besar bagi hampir semua negara, mengingat kuatnya dominasi dolar dalam perdagangan dan keuangan internasional.
Gita dan Pierre mengakui, pangsa pasar ekspor barang-barang dagangan Amerika Serikat dalam perdagangan dunia sebetuknya menyusut sejak 2000, yaitu dari mulanya 12 persen kini hanya menjadi 8 persen. Tapi dia mengingatkan pangsa dolar dalam kegiatan ekspor di dunia masih sebesar 40 persen.
Dengan kondisi ini, bagi banyak negara untuk mengendalikan tingginya inflasi kini, ditambah dengan melemahnya mata uang mereka, menurut Gita dab Pierre akan semakin sulit dalam mengendalikan tingginya harga-harga itu. Bahkan keduanya mencatat, setiap 10 persen penguatan dolar AS akan memengaruhi 1 persen terhadap inflasi.
"Rata-rata, perkiraan pass-through dari apresiasi dolar 10 persen dan inflasi adalah 1 persen. Tekanan seperti itu sangat akut di emerging market," kata Gita dan Pierre.
Penguatan dolar itu juga menurut keduanya memengaruhi langsung neraca keuangan di berbagai negara. Menurut mereka, ini karena setengah dari pinjaman luar negeri, dan utang sekuritas internasional adalah dalam bentuk dolar Amerika Serikat.
"Ketika pemerintahan negara-negara emerging market telah berproses proses dalam penerbitan utang dalam bentuk mata uangnya sendiri, sektor swasta atau perusahaan-perusahaan mereka malah memiliki tingkat utang dalam mata uang dolar yang tinggi," ujar mereka.
Seiring dengan terus naiknya suku bunga acuan bank sentral di berbagai negara, kondisi keuangan menjadi sangat ketat di banyak negara. Dolar AS yang semakin menguat hanya menambah tekanan ini, terutama untuk beberapa negara emerging market dan banyak negara berpenghasilan rendah yang sudah berisiko tinggi mengalami kesulitan utang.
Sebagai informasi, untuk mata uang rupiah sendiri terhadap dolar AS, berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia per Jumat sore, 14 Oktober 2022, telah bertengger di level Rp 15.390. Melemah dibandingkan hari sebelumnya di level Rp 15.357.
BISNIS
Baca juga: Rupiah Melemah, Airlangga: Banyak Negara Lebih Rendah, Depresiasi Poundsterling 20 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.