TEMPO.CO, Jakarta -
Seperti pada hukum pidana dan hukum perdata, atau dalam hal ini perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)/Kepailitan.
Dalam praktiknya, tidak jarang ditemukan seseorang atau badan hukum yang terkena kasus PKPU/Kepailitan dan bersamaan telah dalam proses penyidikan atau sudah dinyatakan melakukan tindak pidana seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun korupsi.
Hal ini yang sering mengakibatkan pertanyaan terkait pertanggungjawaban direksi dan harta aset yang dimiliki, karena dalam menjalankan tugas, pengurus kurator sering berhadapan dengan penyidik Polri dan/atau kejaksaan berkaitan dengan sita pidana atas harta pailit.
Berdasarkan pasal 31 UUK angka (2), putusan pernyataan pailit yang oleh Pengadilan Niaga, kewenangan harta pailit yang dimiliki oleh debitur dialihkan pengurusan dan atau pengalihan harta (sita umum) pailit ke kurator yang diawasi oleh hakim pengawas.
Penyitaan tersebut dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) meliputi segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu dan Pasal 1132 KUHPer barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Berbeda dengan penyitaan pidana, pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan penyitaan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Penyitaan tersebut merupakan suatu upaya paksa (dwang middelen). Adapun menurut pasal 39 KUHAP ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana, diantara.
-Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
-Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
-Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Sementara itu, pada ayat (2), tertulis bahwa, “Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).”
Pertanyaan sering muncul terkait pertanggungjawaban direksi dan harta aset yang dimiliki terkait perkara PKPU/Kepailitan serta proses hukum pidana.
Akibatnya terdapat dua sita di atas satu benda. Padahal, pasal 436 Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) mengatur bahwa barang yang telah diletakkan sita, tidak bisa dilakukan sita untuk kedua kalinya. Hal ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan meletakkan sita umum kepailitan dan sita pidana dalam waktu yang bersamaan. Maka penyitaan boleh dilakukan terhadap benda yang telah disita umum karena dua hal.
Pertama, karena ditentukan oleh Undang-undang dalam hal ini KUHAP. Kedua, karena kepentingan umum, di mana benda yang disita dijadikan barang bukti dalam rangka membuktikan tindak pidana yang dilakukan. Dengan adanya sita pidana terhadap benda yang disita, eksekusi yang dilakukan oleh kurator harus ditunda dulu sampai kedudukan benda yang telah disita umum yang dijadikan barang bukti ditentukan oleh hakim.
Di samping itu, direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan yang wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, jika dalam hal kepailitan yang diatur terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi (pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)).
Berdasarkan pasal 115 UUPT yang mengatur bahwa ‘ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana’, maka apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit dan dinyatakan melakukan tindak pidana, direksi tersebut tetap bertanggung jawab dan mengikut proses hukum pidananya.
IDRIS BOUFAKAR
Baca juga :
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.