TEMPO.CO, Jakarta - Perencana keuangan sekaligus Presiden International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia, Aidil Akbar Madjid, menyarankan masyarakat mulai mengencangkan ikat pinggang menghadapi potensi resesi ekonomi global pada 2023. Resesi atau turunnya perekonomian dunia tahun depan disinyalir dipicu oleh permasalahan inflasi atau naiknya harga-harga.
"Kalau inflasi berarti kan biaya hidup akan naik, barang-barang pasti naik, ya sudah kita harus mencoba belajar mengencangkan ikat pinggang," kata Aidil saat dihuhungi, Rabu, 28 September 2022.
Untuk menjaga aliran dana atau cashflow saat kondisi tersebut terjadi, Aidil mewanti-wanti masyarakat untuk menekan konsumsinya. Apalagi masa resesi, kata Aidil, adalah waktu bagi masyarakat untuk kembali mengelola aliran dana dengan baik dan mengeliminasi belanja yang sifatnya konsumtif.
"Kalau handphone masih bagus jangan beli Iphone 14 lah, atau enggak usah ganti dulu. Yang enggak penting untuk liburan, healing, ya sudah jangan liburan dulu, atau kalau mau healing ya di dalam negeri dulu, atau dalam kota," kata dia.
Sementara itu bagi perusahaan-perusahaan, manajemen perlu melakukan upaya menjaga cashflow dengan meredam pengeluaran yang tidak perlu. Meski demikian, Aidil menekankan resesi ini merupakan siklus ekonomi yang biasa terjadi dan sifatnya sementara.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara tengah mewaspadai kenaikan suku bunga yang berpotensi menimbulkan gejolak pasar keuangan. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia berpotensi menimbulkan resesi global.
"Tekanan inflasi global sudah direspons berbagai negara dengan kenaikan suku bunga yang drastis dan cepat," ujar Sri Mulyani dalam paparannya saat konferensi pers APBN Kita secara daring pada Senin, 26 Agustus 2022.
Sri Mulyani pun mencontohkan sejumlah negara yang secara agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin.
Kemudian Amerika Serikat tercatat mengerek suku bunga yang lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022. Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga Amerika akan mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin.
"Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan."
Selain Amerika, Bank Sentral Eropa telah melakukan normalisasi tingkat bunganya. Sejak awal 2022, Eropa mengerek suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin. Padaal pada 2020, suku bunga Eropa tercatat berada di level negatif.
Tak hanya di negara maju, kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan oleh bank sentral negara emerging market. Brasil, misalnya, telah mengerek suku bunga sebanyak 400 basis poin. Mexico juga meningkatkan suku bunga 225 basis poin dan India 140 basis poin.
Sri Mulyani melanjutkan, kondisi ini akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia, ucap dia, memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023.
Baca juga: Kemnaker Jelaskan 2 Penyebab Notifikasi BSU Masih Calon Penerima
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini