TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penerimaan pajak hingga akhir Agsutus 2022 sudah melampaui masa sebelum pandemi Covid-19. Dia mengatakan capain ini dipengaruhi harga komoditas yang tinggi hingga pulihnya ekonomi.
"Ini sudah jauh melampaui penerimaan sebelum pra pandemi yaitu tahun 2019," kata Sri saat konferensi pers secara daring, Senin, 26 September 2022.
Sri merincikan, penerimaan pajak hingga 31 Agustus 2022 tercatat sebesar Rp 1.171,8 triliun. Angka ini naik 78,9 persen dari target 2022 sebesar Rp 1.485 triliun. Sementara itu jika dibandingkan dengan Agustus 2021, penerimaan pajak meningkat 58,1 persen sebesar Rp 741,3 triliun.
Bendahara negara mengatakan jika ditarik lebih jauh dari realisasi pada Januari-Agustus 2019 yang sebesar Rp 802,5 triliun dan periode yang sama pada 2020 Rp 676,9 triliun, penerimaan pajak tahun ini sudah jauh di atasnya. Menurut dia, kinerja penerimaan pajak didukung empat faktor.
Pertama, tren peningkatan komoditas. Sri Mulyani mengakui naiknya harga komoditas layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, kondisi tersebut mengerek penerimaan pajak. Namun di sisi lain, kenaikan harga menyebabkan inflasi tinggi.
"Produk-produk pangan, energi, mengalami tekanan sehingga kita menggunakan penerimaan negara ini untuk masyarakat. Kita gunakan penerimaan negara ini untuk melindungi masyarakat," ujar dia.
Selanjutnya, penerimaan pajak ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis penerimaan pajak yang rendah selama Covid-18 karena pemberian insentif fiskal, hingga dampak implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Mantan bos Bank Dunia itu mendetailkan, dari total penerimaan pajak hingga 31 Agustus 2022, mayoritas berasal dari penerimaan PPh non-migas Rp 661,5 triliun.
Kemudian diikuti PPN dan PPnBM Rp 441,6 triliun, PPh Migas Rp 55,4 triliun dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta pajak lainnnya sebesar Rp 13,2 triliun. Berdasarkan jenis pajaknya, penerimaan pajak yang tumbuh drastis hingga Akhir Agustus 2022 adalah PPh Pasal 21. PPh 21 tumbuh hingga 149,2 persen.
Selanjutnya, PPh Badan 131,5 triliun, PPh Final 77,1 persen, PPN impor 48,9 persen, PPN dalam negeri 41,2 persen; PPh Pasal 26 17,2 persen; dan terakhir PPh orang pribadi tumbuh 11,2 persen. Sementara itu, berdasarkan sektornya, pertumbuhan drastis penerimaan pajak berasal dari pertambangan sebesar 233,8 persen.
"Ini tumbuh ekstrem karena didorong oleh harga-harga komoditas pertambangan yang melonjak, sehingga penerimaan sektor pertambangan pajaknya itu naik 233,8 persen," kata Sri Mulyani.
Selain sektor pertambangan, penerimaan pajak pada tahun ini didominasi oleh sektor perdagangan yang tumbuh 66,3 persen. Selanjutnya, industri pengolahan 49,4 persen; transportasi dan pergudanagan 25 persen; jasa perusahaan 24,1 persen; informasi dan komunikasi 18,2 persen; serta sektor konstruksi dan real estate 10 persen.
Baca juga: APBN Surplus 8 Kali Berturut-turut, Sri Mulyani: Pembiayaan Turun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.