TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, tidak semua data SIM Card yang bocor baru-baru ini adalah data yang valid. Dari hasil penelusuran sementara dengan operator seluler di Indonesia, baru 15-20 persennya yang mendekati kecocokan data dari total 1,3 miliar data SIM Card yang bocor.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komindo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, penelusuran pencocokan data yang bocot itu tengah dilakukan oleh para operator seluler yang ada di Indonesia, seperti Telkomsel, XL, Indosat, Samrtfren, hingga 3 bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Dari data sampelnya aja, mereka masih cek, hanya 2 file aja itu, dari 15-20 persen yang dilaporkan ke kami yang cocok," kata dia saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin, 5 September 2022.
Data yang cocok itu mayoritas merupakan data nomor telepon masyarakat, karena ketika dihubungi, nomornya masih aktif dan bisa nyambung. Namun, untuk data lainnya yang bocor, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIk) kata Semuel belum ada informasi kecocokan, termasuk alamat dan data lainnya.
"Jadi ini mereka lagi bekerja, karena tidak persis datanya, masih ada misteri di dalamnya. Yang sudah pasti NIK dan nomor sim cardnya, tapi itupun setelah dicek itu tidak semuanya valid," ujarnya.
Di sisi lain, Semuel mengungkapkan, dari hasil penelusuran bersama para operator itu, juga belum ditemukan darimana kebocoran data terjadi dan siapa yang membocorkan data itu. Sebab, dia mengatakan, 1,3 miliar data SIM Card yang bocot itu sangat banyak sehingga juga berpotensi dari luar negeri.
"Itu dia makanya fantastis kan, jumlah 1,3 miliar itu. Makanya misterinya di situ, nomornya di mana, apakah data di luar, kita enggak tau juga. Pastinya kalau bocor ada dua, ada serangan dari dalam dan ada dari luar, makanya itu kita minta dilakukan pengecekan," ucap dia.
Dia menuturkan kebocoran data ini menjadi tanggung jawab operator seluler karena mereka yang mengumpulkan data hingga mengelolanya. Tapi, dia menekankan, kebocoran data ini tidak bisa hanya diusut dan diberikan sanksi hanya dari sisi administraitif saja, melainkan juga harus diusur dari sisi pidananya karena dampaknya bisa ke kejahatan siber lainnya seperti penipuan.
"Ada 2 pelanggaran, satu pelanggaran administrasi dan satu lagi pelanggarna pidana. Yang pidananya ini seolah-olah tidak pernah dijelaskan ke publik seolah-olah pahlwan. Bahwa memang perlu setiap instansi jaga keamanan dan kerahasiannya," ucapnya.
Sebelumnya, kabar kebocoran data pribadi itu diduga telah diperjualbelikan di salah satu situs hacker. Data tersebut merupakan hasil registrasi ulang SIM Card yang diunggah oleh sebuah akun bernama Bjorka di forum breached.to.
Bjorka mengeklaim memiliki 1.304.401.300 data registrasi kartu SIM atau sebanyak 87 GB yang berisi nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, operator seluler yang digunakan dan tanggal penggunaan.
Akun itu juga mengaku telah membagikan 2 juta data sampel yang telah dikumpulkan dari 2017 hingga 2020. Ia menampilkan sampel data tersebut, dan diketahui terdapat sejumlah nama operator telekomunikasi, di antaranya Telkomsel, Indosat, Tri, XL, dan Smartfren.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini