Padahal, skema pensiunan yang selama ini digunakan yaitu pay as you go dianggap terus mengancam keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia menyatakan skema fully funded terkendala diterapkan karena banyaknya persoalan yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah beban fiskal hingga manfaatnya bagi PNS.
"Di Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 sebenarnya sudah mengamanatkan. Namun untuk melakukan perubahan, banyak yang harus dipertimbangkan: beban fiskalnya seperti apa, manfaatnya untuk PNS seperti apa, beban dan iurannya seperti apa, dan sebagainya," kata Didik saat ditemui di kantornya.
Apalagi, dia melanjutkan, kewajiban pembayaran pensiunan bagi PNS saat ini juga terus bertambah. Pada 2022, angkanya hampir tembus Rp 120 triliun atau tepatnya Rp 119 triliun, melonjak dari kondisi 5 tahun yang lalu sekitar Rp 90,82 triliun.
Oleh karena itu, menurut Didik, perubahan skemanya tentu perlu banyak waktu. "Pemikirannya kan sudah dikaji sejak dulu, cuma itu tadi mengubah sistem mana yang cocok. Kemudian yang dampak fiskalnya terukur itu kan perlu waktu lama, melibatkan uang yang besar, ratusan triliun dan sebagainya, jadi di 2014 sudah dipikirkan, kemudian dikaji terus, nih," ucap Didik.
Di sisi lain, Didik menjelaskan, perhitungan kewajiban APBN untuk memenuhi pembayaran pensiunan PNS baik di pusat maupun daerah saat ini sudah tembus hingga Rp 2.900-an triliun. Angka tersebut merupakan total kewajiban pembayaran PNS yang sudah pensiun maupun yang akan pensiun pada masa mendatang.
"Itu dihitung semua, sampai kewajiban itu punah. Kenapa punah, karena orang tua kita pensiun, terus meninggal, bapak saya, ibu saya masih ada jadi janda, jandanya juga dapat hak, ibu saya meninggal, ternyata adik saya masih sekolah, itu dapat hak (dana pensiun). Sampai adik saya enggak dapat hak lagi, itu selesai," kata Didik.
Baca: Faisal Basri: Subsidi BBM Harus Dihilangkan karena Banyak Biaya Candu
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.