TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan bahwa sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite sudah semakin terang.
Sinyal pertama diberikan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Berikutnya, tiga menteri yakni Menteri Investasi Bahllil Lahadalia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan terakhir Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memberi sinyal sangat mengarah ke kenaikkan harga pertalite.
“Bahkan dia (Sri Mulyani) mengatakan masih ada uang fiskal begitu, tapi untuk tahun depan sudah diturunkan untuk anggaran RAPBN-nya itu Rp 370-an triliun,” dia melalui sambungan telepon pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Dari hasil analisisnya soal harga pertalite, menurut Fahmy, ada sejumlah asumsi berlaku. Pertama, dengan asumsi harga minyak dunia tahun depan akan turun, pemerintah tidak perlu menaikan harga pertalite. Dengan begitu, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) secara otomatis akan terselamatkan karena harga BBM turun.
Asumsi kedua, pemerintah membatasi penggunaan pertalite. Pembatasan bisa dilakukan Pertamina atau badan lain yang dianggap efektif sehingga dapat menurunkan subsidi BBM. “Dan lagi-lagi tidak perlu menaikan harga pertalite,” katanya.
Berikutnya, asumsi ketiga, pemerintah memutuskan menaikkan harga pertalite agar disparitas harganya dengan pertamax tidak terlalu tinggi. “Paling tinggi naiknya itu Rp 9.250 (naik dari Rp 7.650) untuk pertalite,” ujar Fahmy.
Menurut Fahmy, dengan selisih harga pertalite dan pertamax yang makin kecil, maka sebagian konsumen akan bermigrasi ke pertamax. Sebaliknya, jika harga pertalite naik menjadi Rp 10.000 per liter, makan akan sangat berat bagi konsumen. Dampak lanjutan ke inflasi pun tak terelakkan.
Rentetan imbas ke inflasi yang akan menurunkan daya beli masyarakat dan memperburuk pertumbuhan ekonomi ini, menurut dia, yang bakal membuat Persiden Joko Widodo alias Jokowi bimbang dan ragu. "Karena tidak ingin momentum pertumbuhan yang mencapai 5,44 persen itu terganggu dengan kenaikan harga pertalite,” kata dia.
Oleh karena itu, menurut perhitungan Fahmy, kenaikan harga pertalite menjadi Rp 9.250 per liter adalah angka yang ideal. Apalagi dengan data pengguna bahan bakar tersebut mayoritas penggunanya atau 60 persen sesungguhnya tidak berhak memperoleh subsidi.
Artinya, hanya 40 persen saja yang sebenarnya berhak mendapatkan BBM subsidi itu. “Nah perkara itu kenapa Rp 9.250, supaya disparitas dengan pertamax tidak terlalu tinggi. Sehingga kemudian yang 60 persen pengguna pertalite itu akan pindah ke pertamax. Harapannya adalah seperti itu,” ucap Fahmy.
Baca: Seluruh Direksi Pembangunan Jaya Ancol Diberhentikan, Tom Lembong: Penyegaran untuk Perbaikan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.