TEMPO.CO, Jakarta - Hadirnya korporasi di tengah pengelolaan lokasi konservasi Komodo dianggap telah melanggar konservasi biosfer di bawah naungan UNESCO sejak Januari 1977. Dilansir dari lipi.go.id, cagar alam adalah situs yang ditunjuk berbagai negara melalui kerjasama Man and The Biospher (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, melalui upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.
Seperti dikutip dari betahita.id mitra teras.id, korporasi yang mendapatkan hak pengelolaan wilayah konservasi komodo salah satunya merupakan sebuah perusahaan milik pemerintah daerah, yaitu PT Flobamor. Sedangkan tiga lainnya merupakan perusahaan swasta, yaitu PT Segara Komodo Lestari, yang mendapatkan IUPSWA No 7/1/IUPSWA/PMDN/2013 untuk lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca yang ditetapkan berdasarkan SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013.
Kedua, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) diberikan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di Pulau Padar dan Pulau Komodo melalui SK.796/Menhut-II/2014. Perusahan ini berhak mengelola 274,81 hektar atau 19,6 persen dari luas Pulau Padar dan hektare atau 3,8 persen dari luas Pulau Komodo.
Perusahaan ketiga yaitu PT Synergindo Niagatama yang diizinkan mengelola tanah seluas 6,490 hektare di Pulau Tatawa.
Berdasarkan data penerima manfaat mencatat PT Synergindo Niagatama berhubungan dengan Wilmar International. 92 persen saham perusahaan ini dimiliki oleh Mochamad Sonny Inayatkhan, sekaligus sebagai penerima manfaat atas perusahaan pengelola Pelabuhan Internasional Batam Center, PT Synergy Tharada.
Selain itu ia juga seorang Direktur Keuangan di PT Bali Star Resort Indah, sebuah perusahaan pariwisata yang bertempat di Bali. Penerima manfaat perusahaan ini adalah Augustinus Tanoto Ong yang juga duduk sebagai komisaris di PT Natsteel Wilmar Gemilang yang bergerak di bidang konstruksi dan pengembang.
Kemudian penerima manfaat PT Natsteel Wilmar Gemilang ini ialah salah satu pendiri Wilmar, yaitu Kuok Khong Hong dan Rosa Taniasuri Ong, yang merupakan istri dari Martua Sitorus, pendiri Wilmar. Perusaah ini diketahui merupakan produsen berbagai minyak goreng seperti Sania, Fortune, Siip, Sovia, Mahkota, Ol'eis, Bukit Zaitun, dan Goldie.
Berdasarkan data dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), per 2020 perusahaan ini memiliki total luas lahan 354.250 hektare. 246.543 hektare atau sekitar 70 persen lahan tersebut ditanami kelapa sawit. Sedangkan lahan seluas 43.472 hektare merupakan skema perkebunan rakyat.
Diketahui saat ini Wilmar memiliki lebih dari 450 pabrik dan jaringan distribusi di berbagai negara lain selain Indonesia, di antaranya China, India. Mereka memiliki sekitar 92 ribu pekerja dari berbagai negara.
Berdasarkan publikasi laporan keuangan Wilmar internasional, hingga akhir 2020 pendapatan mereka tercatat sebesar US$ 50,52 miliar dengan laba bersih sebesar US$ 1,53 miliar. Sehingga total asetnya hingga 2020 mencapai US$ 51,02 miliar.
Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan pada 2014, KLHK memberikan konsesi kepada PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6.490 hektare di Pulau Tatawa yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo. Pulau ini terkenal akan destinasi snorkeling dan memiliki kondisi terumbu karang yang baik.
Pada 2018 pemerintah mengurangi ruang publik di Pulau Tatawa melalui SK 38/PJLHK/PJLWA/ KSA.3/7/2018. Pemerintah mengurangi ruang publik menjadi 3.447 hektare dan meningkatkan ruang usaha menjadi 17.497 hektare. Pada 2020, pemerintah menerbitkan ulang izin usaha PT Synergindo Niagatama di lahan seluas 15,32 hektare.
Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara, Supintri Johar, mengkhawatirkan dengan masuknya korporasi dalam kawasan konservasi membawa berbagai ancaman bagi satwa dan lingkungan sekitar. Pembangunan fasilitas dinilai akan mempengaruhi ekosistem dan niat meraih keuntungan justru membuat konservasi terancam.
"Bila dilihat proses pemberian izin ini tidak transparan. Tentu ini menimbulkan kekhawatiran, terlebih lagi yang masuk adalah korporasi yang berkaitan dengan perusahaan besar. Tentu faktor ekonominya lebih besar dibandingkan konservasi,” kata dia.
Sebelumnya Walhi NTT menilai masalah hadirnya investor di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) ini menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan isu kenaikan harga bea masuk wisata TNK. Pengelolaan TNK sebagai wilayah konservasi biosfer seharusnya pembangunan berkelanjutan di kawasan itu melalui upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Ditambah lagi selama ini pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo masih mengesampingkan penduduk di pulau-pulau kawasan TNK, termasuk Pulau Komodo.
ANNISA FIRDAUSI
Baca: Bayang-bayang Korporasi di Wisata Pulau Komodo
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.