TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran para investor akan kondisi perekonomian saat ini. Dalam beberapa hari terakhir kurs rupiah melemah dan tembus Rp 15.000 per dolar AS.
Bhima menilai pelemahan rupiah terjadi karena masih dibayangi sentimen negatif di pasar saham. Dua mencatat dana asing jual bersih Rp 572 miliar di seluruh pasar pada penutupan perdagangan kemarin.
"Investor memang mencermati risiko kenaikan Fed Fund Rate terhadap indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," kata Bhima saat dihubungi pada Selasa, 5 Juli 2022.
Data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017, kata dia, juga memicu kekhawatiran akan terjadinya stagflasi. Apalagi BI masih menahan suku bunga acuan dan berimbas makin tinggi risiko di pasar.
Selain itu, cadangan devisa diperkirakan akan makin tertekan di saat arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.
Bhima berpendapat seharusnya bank sentral mulai menaikkan suku bunba acuan seiring dengan yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Fed secara agresif. "Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit," ujarnya.
Baca Juga:
Pada hari ini kurs rupiah sempat menembus level 15.962 per dolar AS. Level itu menunjukkan penguatan dolar Amerika Serikat 40 poin atau 0,27 persen dari awal perdagangan hari ini. Adapun nilai tukar mata uang Garuda itu bergerak di kisaran 15.922 hingga 15.966 per dolar AS.