TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P) bersama Perum Perhutani dan dekanat Fakultas Kehutanan UGM membeberkan sejumlah alasan di balik penolakan atas aturan terbaru yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Aturan itu bernomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022. Aturan itu berisi tentang penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) pada hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten seluas 1,1 juta hektare.
Aturan itu di antaranya mengamanatkan hutan negara seluas satu juta hektare yang dikelola Perhutani akan diambil alih untuk dikelola secara khusus.
Ketua Umum SP2P Heri Nur Afandi menyatakan 1 juga hektare luas hutan itu terdiri atas hutan produksi seluas kurang lebih 638.649 hektare (58 persen) dan hutan lindung seluas kurang lebih 465.294 hektare (42 persen).
Dengan pengambilalihan dari Perhutani tersebut, Heri menyatakan, ada sejumlah resiko yang bakal timbul seperti dampak ke lingkungan, hukum, kesiapan pengelola baru, dan pengurangan karyawan.
Aturan itu, menurut Heri, juga memicu konflik dan beberapa daerah menjadi tidak kondusif dengan beredarnya isu bagi-bagi kawasan hutan ke pemangku baru. "Perlu langkah-langkah penanganan konflik yang terjadi di kawasan hutan," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu, 29 Mei 2022.
Sementara itu, pakar hukum, Totok Dwi Diantoro, menyatakan aturan tersebut merupakan implementasi dari PP 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Aturan ini, menurut dia, berpotensi melanggar Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
Totok menjelaskan isi putusan tersebut antara lain menyatakan pembentukan UUCK melanggar UUD NKRI 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai 'tidak direvisi dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini' dan menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK," kata Totok.