TEMPO.CO, Jakarta - Sri Lanka menunda pembayaran utang luar negeri, obligasi, dan pinjaman antar-pemerintah. Penundaan ini akan terus dilakukan sambil menunggu penyelesaian program restrukturisasi pinjaman IMF untuk menangani krisis ekonomi negaranya.
Selama beberapa bulan terakhir warga Sri Lanka kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok seperti bahan bakar, makanan, hingga listrik. Listrik terus dipadamkan setiap hari oleh otoritas setempat.
Sri Lanka disebut berada di ambang kebangkrutan, karena memiliki utang luar negeri sebanyak 25 miliar dollar. Dari jumlah tersebut, hampir 7 miliar dollar jatuh tempo pada tahun ini. Sementara itucadangan devisa negara juga semakin menipis.
Seperti dilansir dari NPR, Menteri Keuangan Sri Lanka menyatakan bahwa negaranya memiliki catatan pembayaran utang luar negeri yang baik dan tidak memiliki catatan buruk sejak merdeka pada tahun 1948. Permasalahan ekonomi pada Sri Lanka baru terjadi akibat pandemi COVID-19 dan dampak permasalahan di Ukraina.
IMF menilai bahwa utang luar negeri Sri Lanka sudah cukup parah dan akan sulit dibayar. Selain itu Sri Lanka juga dikabarkan meminta bantuan pada negara India dan Cina untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Lanka mengatakan bahwa pemerintah negaranya terus melakukan diskusi dengan IMF secepat mungkin untuk merumuskan dan menyajikan solusi demi memulihkan ekonomi negaranya agar dapat melunaskan utang luar negeri.