TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pemerintah akan menyelesaikan persoalan tumpahan minyak mentah Montara pada 2009. Pemerintah mendukung proses kasus ini sampai ada pertanggungjawaban dari perusahaan asal Thailand PTT Exploration and Production Australasia (PTT EP).
“Saya pikir pemerintah komitmennya jelas bahwa kami akan membela kepentingan rakyat kami. Penting buat kita semua, tidak boleh dibiarkan rakyat kita itu mendapat masalah tanpa dibela oleh pemerintah,” ujar Luhut dalam diskusi virtual melalui YouTube Kemkominfo TV pada Jumat, 1 April 2022.
Tumpahan minyak yang berasal dari ledakan di Blok Atlas Batas Laut Timor dan telah lama mencemari lingkungan sekitar masyarakat di 13 kabupaten/kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dampaknya, mata pencaharian masyarakat menjadi hilang dan kesehatan masyarakat menjadi terganggu.
Sebagai tindak lanjut, Luhut mengatakan pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) menanggapi persoalan ini. Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga telah menginstruksikan untuk segera mengatasi persoalan ini.
“Saya kira berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka dengan ini kami menyatakan akan menyampaikan izin pemrakarsa bagi pembuatan Peraturan Presiden dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,” tuturnya.
Sebelumnya langkah gugatan (class action) terhadap PTT EP dimenangkan dua kali. Pertama, Putusan Pengadilan Federal Sydney Australia pada 19 Maret 2021 oleh Hakim Pengadilan Federal David Yates. Kedua, Putusan Pengadilan yang kedua pada 25 Oktober 2021 oleh Hakim Pengadilan Federal David Yates.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, pemerintah juga akan melakukan gugatan ke pengadilan di Jakarta terhadap PTT EP. Proses pengumpulan materi dan bukti terbaru diklaim masih sedang dilakukan.
“Langkah yang dilakukan oleh KLHK khusus dalam pengadilan domestik tentu menyusun dan membahas materi gugatan, dengan para ahli hukum dengan para ahli lingkungan, ahli ekonomi dan seterusnya,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Alue mengungkapkan, estimasi nilai tuntutan atas kerusakan ekologi atas rumput laut dan biota laut di sekitar daerah terdampak sekitar Rp 21 triliun. Ditambah lagi dengan rehabilitasi kerusakan yang diperkirakan mencapai Rp 6 triliun, sehingga estimasi nilai pertanggungjawaban PTT EP kepada pemerintah Indonesia sebesar Rp 27 triliun.
Alue juga akan kumpulkan data terbaru terkait dengan economic opportunity lost dari kegiatan perikanan dan lain-lain. Untuk pemulihan lingkungan pun dinilai bakal membutuhkan waktu yang lama.
“Waktu recovery ini juga membutuhkan waktu lama, seperti proses transplantasi karang sampai mengembalikan kondisi seperti semula,” tuturnya.
Sebelumnya, PTT EP mempertimbangkan banding atas putusan pengadilan Australia terhadap tuntutan petani rumput laut Indonesia terkait kasus meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
“PTT EP AAA akan mempertimbangkan dengan bijak putusan tersebut serta jalur banding yang tersedia untuk itu,” kata General Affairs Manager PTT EP Indonesia Afiat Djajanegara dalam keterangan tertulis, Sabtu, 20 Maret 2021.
Pengajuan banding itu dilakukan mengacu pada gugatan terhadap PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP AAA) di pengadilan Federal Australia yang diajukan oleh sekelompok petani rumput laut Indonesia. Para petani rumput laut, menuntut ganti rugi atas kerusakan tanaman rumput laut mereka yang disebabkan oleh insiden Montara pada tahun 2009 di Perairan Australia.
FAIZ ZAKI | HENDARTYO HANGGI