Sementara dispute terjadi, misalnya ketika RS tak bisa melampirkan dokumen yang diminta BPJS Kesehatan. "Pasien harus dilakukan rontgen, tapi RS tak melampirkan foto rontgen, dan tak bisa memenuhi juga," ujar Siti mencontohkan.
Siti bercerita bahwa saat verifikasi selesai, maka BPJS Kesehatan akan menerbitkan Berita Acara Hasil Verifikasi (BAHV) dan diserahkan ke Kemenkes. Kemenkes lalu melakukan rekonsilisasi atau pencocokan data dengan RS, dan melahirkan dokumen berupa Berita Acara Rekonsilisasi (BAR)
BAR harus diteken Direktur RS di atas materai, yang menyatakan nilai tagihannya sudah cocok. Di lapangan, proses ini kerap terkendala. "Ini agak lama, kadang Direktur RS-nya belum terinfo oleh tim klaim, sedangkan kami koordinasi dengan tim klaim," kata dia.
Inilah yang terjadi dengan sisa klaim 2021 sebesar RP 25,1 triliun yang harus dibayarkan tahun 2022 ini. Sampai 9 Februari 2022, BAR yang sudah kembali ke Kemenkes baru senilai Rp 7,92 triliun.
Padahal, kata Siti, pihaknya sudah menyelesaikan hampir semua rekonsiliasi data di semua rumah sakit. "Kami sangat mohon supaya rumah sakit bisa cepat mengembalikan BAR sehingga kita bisa ke proses selanjutnya," ujarnya.
Permintaan kedua dari Kemenkes yaitu agar RS menyiapkan tim khusus untuk pembayaran klaim. "Supaya mereka lebih konsentrasi memikirkan klai Covid-19 saja," kata dia.
Ketiga, Kemenkes juga meminta pihak RS untuk selalu update dengan informasi terbaru, baik dari organisasi maupun Dinas Kesehatan. Keempat, RS diminta mempelajari Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) yang berlaku untuk tagihan ini.
Kelima, RS diminta memitigasi setiap resiko yang muncul di setiap proses tahapan klaim. Lalu keenam, RS diminta mengajukan klaim lebih awal walau masa kedaluwarsanya dua bulan. "Sebisa mungkin, saat pasien pulang, klai msegera dilakukan untuk mengurangi resiko kedaluwarsa," kata dia.
BACA: Kemenkes Jelaskan Soal Tunggakan Klaim Covid-19 Rumah Sakit Rp 25,1 T