Untuk menyelesaikan dan mempercepat pekerjaan di sana, Dwiyana mengatakan pihaknya sempat mencoba berbagai solusi, mulai dari metode 9-bench hingga metode menggali ke empat arah, namun solusi tersebut belum maksimal hasilnya.
Ia mengatakan persoalan yang terjadi di Tunnel 2 itu menghambat pekerjaan-pekerjaan lainnya yang berkaitan. Misalnya pekerjaan ereksi box girder yang terhambat lantaran pekerjaan tunnel yang belum rampung.
"Peer sudah ada, tapi erection box girder terhambat tunnel 2, 4, dan 6. Ini yang secara kalkulasi teknis bisa menimbulkan potensi bahwa di Desember belum berprogress 100 persen," ujar Dwiyana.
Akhirnya, bersama dengan ahli dari Cina dan Intitut Teknologi Bandung, mereka memutuskan untuk melakukan surface grouting. Dengan metode itu, lapisan di atas tunnel dibor dan diisi dengan beton untuk memperkuat konstruksi tanah.
"Sehingga saat digali dengan metode baru empat titik itu menjadi normal kembali. Saat ini, kita ada progres menggali 1,2-1,8 meter per hari. Itu sudah normal," ujar Dwiyana. Sebelum adanya solusi itu, progress per hari hanya bisa dicapai 50-80 centimeter lantaran perseroan berhati-hati dengan adanya clay shale. Hingga saat ini, tersisa pekerjaan kurang dari 300 meter untuk diselesaikan untuk total panjang 1.50 meter.
Menurut Dwiyana, kendala clay shale juga muncul di pekerjaan tunnel 4 dan tunnel 6, namun tidak semasif tunnel 2. Di Terowongan 6 misalnya, pekerjaan kini menyisakan 50 meter, namun terjadi longsor dan aliran air yang cukup deras. Akhirnya solusi serupa pun digunakan untuk menyelesaikan perkara itu.
Dwiyana berujar perkara geologi di lokasi proyek sebenarnya sudah diinvestigasi sejak awal. Namun, penanganan dari situasi tersebut memerlukan berbagai solusi agar hasilnya maksimal. "Dalam praktiknya memang kita sangat ter-challenge dengan adanya clay shale itu dan membuat pekerjaan delay," ujar Dwiyana.
CAESAR AKBAR
BACA: KCIC Ungkap Masalah Teknis yang Bikin Proyek Kereta Cepat Gagal Kelar 2022