TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menyoroti sikap pemerintah yang tak segera membuka data perusahaan yang terdampak pencabutan izin usaha pertambangan (IUP). Menurut dia, semestinya dengan keluarnya surat keputusan pencabutan IUP, pemerintah juga melampirkan daftar perusahaan tersebut.
Sikap pemerintah yang masih belum membuka data, kata Melky, mengindikasikan adanya transaksi yang sedang berlangsung. “Sikap ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) yang tampak tertutup itu mengindikasikan ada transaksi yang tengah berlangsung. Jatam khawatir ribuan perusahaan yang izinnya dicabut itu dijadikan ATM atau sumber duit oleh elit politik tertentu,” kata dia saat dihubungi pada Sabtu, 8 Januari 2022.
Melky khawatir transaksi ini terjadi antara pemilik IUP dengan elite politik tertentu yang terafiliasi dengan pemegang kekuasaan. Di sisi lain, Melky berujar, pencabutan izin IUP ini tak perlu memperoleh apresiasi.
Jaringan menduga, pencabutan ribuan izin tambang ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi perusahaan tambang dan percepatan pengerukan komoditas tambang.
“Alih-alih didasari penyelamatan lingkungan, perlindungan hak warga dan evaluasi atas carut marut proses perizinan tambang, pencabutan izin ini jelas dalam rangka untuk mempercepat pengerukan di tapak-tapak tambang,” tutur Melky, mengimbuhkan.
Jatam, kata dia, was-was bila bisnis pertambangan dalam lingkaran pemerintahan akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam pencabutan izin tambang. Kekhawatiran itu tidak lepas dari berbagai regulasi yang muncul, yang memberikan banyak insentif fiskal dan perizinan, seperti Revisi UU Minerba dan Undang-undang Cipta Kerja.