Walhasil, perusahaan harus membayar biaya tambahan untuk penambahan waktu pemakaian kapal, yaitu US$ 20-40 ribu per kapal. Ini akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor.
Selanjutnya, kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia akan mengalami kondisi ketidakpastian yang bakal berimbas ke reputasi dan keandalan Indonesia yang selama ini menjadi pemasok batu bara global.
"Deklarasi force majeur secara masif dari produsen batu bara karena tidak dapat mengirimkan batu bara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak akan menimbulkan banyak sengketa antara penjual dan pembeli," ujar Pandu.
Dampak selanjutnya dari pemberlakuan larangan ekspor akibat ketidakpatuhan segelintir perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh. Ini pada masa mendatang bakal menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Larangan ekspor batu bara tertuang dalam Surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Nomor B1605/MB.05/DJB.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum. Terbit 31 Desember 2021, poin-poin dalam surat itu melarang penjualan batubara ke luar negeri sejak 1 sampai 31 Januari 2022 secara umum dan menyeluruh.
Kebijakan larangan ekspor komoditas terbit setelah adanya laporan dari PLN ihwal kondisi persediaan batu bara di PLTU dan Independent Power Producer (IPP). PLN melaporkan pasokan batu bara saat ini sangat rendah.
Baca: Investor Aset Kripto Salip Pasar Modal, Tokocrypto: 4 Tahun Lagi Tembus 30 Juta
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.