Di sisi lain, Edward mengungkapkan bahwa beberapa koreksi di pasar domestik diperlukan ketika AS akhirnya mengurangi pembelian obligasinya terutama untuk kelas aset yang sensitif terhadap perubahan imbal hasil.
“Namun, menurut kami kerugian pada MXID [JCI/IHSG] mungkin terbatas (daripada sebelumnya),” katanya.
Hal tersebut paparnya mengingat spread hasil yang lebih luas antara obligasi SUN dengan tenor 10 tahun akibat inflasi di Indonesia terkendali dengan baik. Selain itu arus dana investor asing yang keluar secara tahunan konsisten semenjak Mei 2015 sehingga relatif lebih mudah dikelola.
Seterusnya adalah adanya efek riak terhadap perekonomian Indonesia karena mendapat manfaat dari kenaikan beberapa harga komoditas yang melambung tinggi sehingga mendorong pertumbuhan indeks.
Menurutnya, pemulihan ekonomi dan mulai dibukanya aktivitas global mendorong secara signifikan harga komoditas di antaranya harga minyak sawit (crude palm oil/ CPO), jagung, dan juga tembaga.
Di mana kenaikan harga komoditas tersebut terkait dengan pasokan terbatas sehingga tidak memenuhi lonjakan permintaan. Korea Investment and Sekuritas Indonesia pun kemudian memilih saham siklis untuk mendorong momentum kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Kami memperkirakan pertumbuhan EPS 14 persen pada tahun 2022, terutama didorong oleh pemulihan pendapatan untuk perusahaan besar dan harga tinggi di sektor terkait komoditas tertentu seperti batu bara, CPO, nikel dan tembaga,” papar Edward.
Kendati demikian, dia mengingatkan para pelaku pasar untuk tetap waspada akan lonjakan kasus Covid-19 yang nantinya juga berpotensi menyebabkan pembatasan ketat kembali sehingga menyulitkan pemulihan ekonomi.
BISNIS
Baca juga: Tahun Ini Bank Jago hingga Bank Neo Commerce Siap Luncurkan Pinjaman Digital
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.