TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Petani Indonesia mencatat kesejahteraan petani dalam bentuk penghasilan dan penghidupan yang layak belum terwujud selama 2021. Ketua Departemen Kajian Strategis SPI Mujahid W. Saragih mengatakan kondisi ini dapat dibaca dari Nilai Tukar Petani atau NTP yang menjadi tolok ukur indeks yang diterima mau pun yang dikeluarkan oleh petani.
Secara umum, NTP Total mencatat tren positif sejak Januari 2021 hingga November 2021. Namun, apabila kita melihat lebih detail, kenaikan NTP Total ternyata ditopang oleh kenaikan NTP subsektor Perkebunan Rakyat.
"Kondisi NTP subsektor lainnya seperti subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, sangat fluktuatif bahkan kerap berada di bawah standar impas. Kondisi ini juga dialami oleh anggota SPI di berbagai wilayah," kata Mujahid dalam keterangan tertulis, Jumat, 24 Desember 2021.
Permasalahan-permasalahan seperti rendahnya harga di tingkat petani, serta lesunya daya beli masyarakat sehingga produksi tidak terserap dengan baik, kata Mujahid, masih menjadi momok saat ini.
Mujahid melanjutkan, SPI mencatat pemerintah/negara belum memberi perlakuan adil untuk menyejahterakan petani dan memfokuskan pada subsektor perkebunan rakyat saja. Pemerintah/negara belum ada mengambil kebijakan komprehensif untuk mengatasi rendahnya kesejahteraan petani, khususnya subsektor pangan dan hortikultura.
Salah satunya adalah Badan Pangan Nasional yang sampai saat ini belum berfungsi. Padahal secara tugas dan fungsinya, Badan Pangan Nasional dapat mengurai berbagai masalah di sektor pertanian Indonesia, salah satunya adalah fungsi stabilisasi harga pangan di Indonesia.
"Dalam konteks cara berproduksi, petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan juga belum terpenuhi hak-haknya. Ini dapat dilihat bagaimana tata kelola yang ada saat ini belum memberikan kemudahan bagi petani seperti akses terhadap pupuk bersubsidi, yang masih menjadi kendala yang dialami mayoritas petani di Indonesia," papar Mujahid.