Persetujuan penggunaan lahan hutan dan penebangan areal tanaman jati tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 97/2012. Sebagai gantinya, Pertamina wajib mengalokasikan lahan di tempat lain yang diperuntukkan sebagai hutan industri, yakni di Banyuwangi, seluas 265 hektare, atau dua kali lipat dari luas hutan Jati Peteng.
Kadek menambahkan saat ini masih dalam tahap pengukuran dan pengadaan lahan di Banyuwangi. Selepas itu, pihaknya bakal melakukan penanaman kembali di lahan pengganti tersebut, sehingga penyerapan emisi karbondioksida di Jawa Timur tidak berkurang.
“Dalam melakukan land clearing hutan Jati Peteng, kami mengikuti ketentuan pemerintah dan wajib memenuhi beberapa persyaratan, yakni izin prinsip, kajian teknis dari Perhutani, Dinas Kehutanan, serta tim terpadu yang terdiri dari 11 institusi yang ditunjuk KLHK,” ujarnya.
Tidak berhenti dengan penggantian areal hutan di Banyuwangi, Pertamina juga menjalankan penghijauan di Kabupaten Tuban, tepatnya di kawasan pesisir lokasi proyek Kilang Tuban, dengan penanaman Cemara Laut sebanyak 20.000 bibit.
Dengan demikian, fungsi penyerapan karbondioksida di Tuban tidak hilang meski areal hutan jati dibebaskan. Menurut penelitian Universitas Sumatera Utara (USU), Cemara Laut memiliki kapasitas penyerapan karbon 154,36 kg per pohon per tahun, atau lebih besar dari penyerapan karbon jati yang hanya 135,27 kg per pohon per tahun.
Kadek memastikan bahwa cetak biru dan desain konstruksi Kilang Tuban dibuat dengan merujuk pada prinsip kilang ramah lingkungan yang berkelanjutan, di mana di dalamnya akan ada jalur hijau untuk vegetasi penyerap karbondioksida, dan penggunaan energi terbarukan berupa solar panel. Konsep ramah lingkungan tersebut diharapkan dapat menekan jejak emisi Kilang Tuban, ke depannya dan membantu tercapainya net zero emission di Kabupaten Tuban.
Baca Juga: Dorong Proyek Kilang Tuban, BKPM Fasilitasi Kerja Sama KAI dan Pertamina Rosneft