Ia mengatakan jika permintaan energi migas masih seperti kondisi normal, maka sektor Migas dapat mengurangi sebagian besar emisinya, dengan biaya lebih rendah dari rata-rata US$ 50 per ton setara karbon dioksida.
Hal ini dapat dilakukan melalui intervensi pada kegiatan yang paling menghemat biaya. Menurut Nicke, perubahan dan penyesuaian proses bisnis akan membantu perusahaan mengurangi konsumsi energi dan mendukung pengurangan emisi.
Selain itu, lanjut Nicke, Pertamina memiliki beberapa program yang merupakan Program Environmental, Social, & Governance (ESG) yang sebagian besar arahnya adalah dekarbonisasi. Pada tahun 2020 lalu, Pertamina telah memberikan kontribusi dalam penurunan emisi sebesar 27,08 persen dibandingkan dengan target nasional sebesar 26 persen.
Pencapaian penurunan emisi tersebut antara lain diperoleh dari pemanfaatan Gas Suar di sektor hulu dan pengolahan, baik untuk bahan bakar penggunaan sendiri dan untuk pasokan gas ke pelanggan. Selain itu, pemanfaatan kembali limbah panas di hulu dan kilang serta inisiatif efisiensi energi dalam kegiatan panas bumi dan lainnya.
Gasifikasi bahan bakar di hulu juga berkontribusi serta kegiatan lainnya seperti komersialisasi pelepasan CO2 ke pelanggan di hulu, optimasi proses lainnya di kegiatan panas bumi.
Melalui delapan program inisiatif yang telah berjalan, saat ini Pertamina telah memiliki kapasitas panas bumi terbesar di Indonesia dan sedang dalam proses untuk menjadi perusahaan panas bumi nasional dan perusahaan panas bumi terbesar kedua di dunia yang akan berkembang dalam lima tahun ke depan.