Kenaikan terbesar, kata dia, disumbang oleh komoditas serelia tau biji-bijian yang di dalamnya termasuk jagung. Salah satunya penyebabnya karena ada prospek penurunan produksi, terutama di negara supplier utama jagung di dunia seperti Brasil.
Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development (INDEF) lainnya, Mirah Midadan, juga melihat persoalan kenaikan harga pakan jagung ada di sentra produksi. "(Lokasi) sentra produksi jagung ini terlalu menyebar," kata dia.
Padahal, Mirah mencatat produksi jagung sebenarnya turun mengalami kenaikan. Kondisi ini ditandai dengan indesk produksi jagung yang terus naik dari 2016 sampai 2020. "Jadi produksi jagung mostly masih meningkat, ini hal yang bagus," kata dia.
Kementerian Pertanian juga diketahui beberapa kali memberi penjelasan pasca Suroto bertemu Jokowi. Direktur Serelia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Moh. Ismail Wahab menyebut menegaskan data stok jagung di lapangan saat ini mencapai 2,3 juta ton.
“Masalahnya saat ini bukan produksi, namun distribusi jagung ke peternak yang terhambat. Kami punya data stok, silahkan tanya kami bila ingin menyelesaikan perkara jagung peternak mandiri,” tutur Ismail.
Ismail mengakui bahwa memang ada kecenderungan pabrik pakan besar dan pengepul untuk menyimpan jagung dalam jumlah besar. Menurut dia siuasi ini terjadi karena adanya kekhawatiran supply jagung untuk produksi pakan terganggu, dan kondisi harga jagung pasar dunia juga sedang tinggi.
“Harga jagung di petani masih tinggi, karena pabrik juga masih berani membeli tinggi. Sementara harga pasar dunia naik 30 persen. Saya kira regulator harga jagung harus melakukan intervensi aktif. Kasihan peternak mandiri kita,” katanya.
Baca: Pungutan Pajak Orang Kaya Diprediksi Tambah Penerimaan RI hingga Rp 8 T