Mulanya manajemen optimistis dana talangan akan memberi angin segar. Namun karena pandemi yang berkepanjangan dan menyebabkan Garuda tidak bisa menaikkan kinerjanya, dana talangan tahap selanjutnya tak kunjung turun. Merujuk pada KPI perjanjian dana talangan, perseroan diwajibkan memperbaiki kinerja seiring pencairan dana tersebut.
Kondisi perusahaan semakin berat karena utang Garuda terus bertambah di tengah kas yang seret. Mei lalu, Garuda mengakui memiliki utang sebesar Rp 70 triliun. Utang pun membengkak hingga Rp 1 triliun setiap bulan.
Garuda lalu melakukan renegosiasi dengan sejumlah lessornya untuk mempercepat pengembalian pesawat menekan beban operasional. Garuda berencana memangkas jumlah pesawat sebanyak 50 persen menjadi hanya 70 unit.
Adapun Garuda tercatat memiliki 142 pesawat, yakni sebanyak 136 unit dengan status sewa dan enam unit milik perseroan. Pesawat Garuda meliputi Boeing 777-300, Boeing 737-800, Boeing 737-8 Max, ATR 72-600, CRJ1000 NextGen, Airbus A330-200, Airbus A330-300, dan Airbus A330-900.
Perusahaan menghitung beban biaya leasing sebesar US$ 56 juta. Nilai itu telah ditekan perseroan dari sebelumnya US$ 75 juta.
Selain renegosiasi dengan lessor, emiten meminta kelonggaran pembayaran utang kepada kreditur. Tiga bank badan usaha milik negara (BUMN) telah menyetujui perpanjangan atau restrukturisasi pinjaman Garuda. Tiga bank tersebut adalah BNI, BRI, dan Bank Mandiri.
BRI dan BNI sepakat mengkonversi sebagian pinjaman jangka perseroan pendek menjadi pinjaman jangka panjang. Pinjaman tersebut akan jatuh tempo pada 2026. Sedangkan Bank Mandiri menyetujui restrukturisasi pinjaman melalui perpanjangan pinjaman sampai Desember 2021. Bank Mandiri juga menangguhkan kewajiban clean-up pinjaman. Selain himbara, bank-bank non swasta setuju untuk memberikan perpanjangan pinjaman.