TEMPO.CO, Jakarta – Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, menyatakan negara harus menetapkan defisit anggaran di tengah pandemi Covid-19. Defisit terjadi karena pengeluaran negara tidak sebanding dengan penerimaannya.
Ia pun menyebut tak ada rumus untuk menekan defisit. “Nah jadi kalau dalam keadaan sekarang ini dikatakan bagaimana agar (defisit) tidak naik? Oh tidak bisa, enggak ada rumusan itu sekarang ini,” ujar Raden dalam webinar Indef, Rabu, 7 Juli 2021.
Pada 2021, pemerintah menetapkan defisit anggaran 5,3 persen hingga 5,7 persen. Defisit ini diperkirakan dari penerimaan negara yang masih akan turun menjadi 8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara dari sisi belanja, pemerintah masih membutuhkan pengeluaran cukup tinggi untuk menangani dampak pandemi Covid-19.
Meski demikian, Raden mengatakan pemerintah menjaga risiko agar defisit ini tak mengganggu stabilitas keuangan negara. Di masa krisis, ia pun mengakui seluruh negara melakukan kebijakan yang sama.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya, menetapkan defisit anggaran 15 hingga 20 persen pada masa pandemi Covid-19. Besarnya defisit ditetapkan agar pemerintah lebih maksimal mengucurkan stimulus di tengah melemahnya kinerja perekonomian.
Dengan defisit mencapai 20 persen, negara maju bisa mengejar pemulihan ekonominya lebih cepat. Sedangkan negara kelas menengah dengan kemampuan fiskalnya tidak akan mampu membuka ruang defisit yang lebih lebar.
“Kalau kelas menengah defisitnya 5-6 persen dan kita masuk di situ. Sedangkan negara paling miskin itu sekitar 2 persen dan inilah sebetulnya nantinya yang membedakan pola pemulihan dunia yang kita,” ujar Raden.
Baca Juga: Semester I 2021, Sri Mulyani: Defisit Anggaran 1,72 Persen dari PDB