TEMPO.CO, Jakarta - Kapal Motor Penumpang atau KMP Yunice tenggelam di selat Bali pada Selasa, 29 Juni 2021 malam. KMP ini mengangkut 41 penumpang dan 12 anak buah kapal (ABK) dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, menuju Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana, Bali.
Kapal diduga terseret arus saat hendak menunggu giliran bersandar di Gilimanuk. Hingga Selasa malam, ada enam korban ditemukan meninggal, 33 penumpang selamat, dan 14 orang lainnya masih dalam pencarian.
Baca Juga:
Peneliti Laboratorium Data Laut dan Pesisir Badan Riset dan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dr. Ing. Widodo Setiyo Pranowo menjelaskan arus laut di celah sempit antara Ketapang dan Gilimanuk bergerak menuju ke arah Selatan-Tenggara dengan kecepatan lebih dari satu meter per detik saat KMP Yunicee diberitakan tenggelam sekitar pukul 19.20 WITA.
"Arus tersebut lebih kencang dari pada arus di Laut Bali dan sisi selatan Selat Bali," kata dia, Selasa 29 Juni 2021. Perhitungan tersebut berdasarkan pada hasil analisa terhadap data model pasang surut dan arus laut.
Pada saat kejadian kondisi elevasi muka laut di Laut Bali lebih tinggi daripada elevasi muka laut di sekitar perairan rute Feri Ketapang-Gilimanuk. Bahkan elevasi muka laut di perbatasan antara Selat Bali dan Samudera Hindia jauh lebih rendah lagi.
Perbedaan ketinggian elevasi muka laut tersebut menyebabkan aliran air laut dari arah Laut Bali menuju Samudera Hindia melewati perairan Gilimanuk. Aliran air laut tersebut yang kemudian disebut sebagai arus.
Widodo menjelaskan bahwa kondisi Selat Bali memang unik dilihat dari sisi hidro-oseanografi. Selat Bali sisi utara jauh lebih sempit daripada sisi selatan yang sangat lebar.