Meski demikian, Wiwiek tak menampik toko-tokonya di sekitar area publik, tempat wisata, bandara, stasiun, dan rest area turut terdampak selama pandemi. “Karena tidak ada trafik (masyarakat),” ujar Wiwiek.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan ada berbagai faktor yang menyebabkan daya tahan supermarket belakangan turun di tengah pandemi. Pertama, adanya perubahan perilaku masyarakat yang lebih memilih berbelanja secara cepat atau instan.
Menurut Budihardjo, saat ini, masyarakat mulai bosan dengan cara berbelanja kebutuhan pokok di gedung super-luas. “Masyarakat cenderung lebih gemar berbelanja di tempat kecil yang praktis dan menyediakan aneka kebutuhan,” katanya.
Selain pergeseran tren budaya belanja, berkembangnya e-commerce ikut menjadi penyebab ambruknya toko-toko retail luring alias offline. E-commerce mulai mengambil segmen pasar retail yang menyediakan bahan-bahan pokok dan kebutuhan dasar rumah tangga. E-commerce pun mendulang jumah pelanggan melalui diskon tawaran diskon atau promo lainnya yang menggiurkan.
Moncernya bisnis e-commerce tampak dari laporan Google, Temasek dan Bain & Company soal e-Conomy 2020. Riset itu menyatakan waktu yang disediakan orang untuk masuk ke platform online meningkat pada masa pandemi dari semula 3,7 jam per hari menjadi 4,7 jam per hari.
Bank Indonesia juga sebelumnya memperkirakan transaksi e-commerce pada tahun ini meningkat menjadi Rp 337 triliun. Angka itu naik dari transaksi e-commerce sepanjang 2020 sebesar Rp 235 triliun.
Baca: Bos BCA: 90 Persen Produk E-commerce Impor, Ini yang Menyedihkan