TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta Kementerian Ketenagakerjaan untuk bersikap tegas dalam menegakkan aturan THR, sebagaimana isi Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/VI/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
"Jangan ada lagi perusahaan yang membayar THR dicicil dan tidak lunas hingga akhir Desember tahun berjalan. Karena faktanya, banyak perusahaan yang belum melunasi THR tahun 2020," ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin, 12 April 2021.
Baca Juga: KFC Tanggapi Protes Pekerja: Sudah Ada Kesepakatan Sejak Januari 2021
Pasalnya, menurut dia, surat tersebut menegaskan bahwa THR 2021 wajib dibayarkan H-7 sebelum hari raya dan tidak dicicil. Meskipun, isi surat edaran Menaker juga memuat kemudahan bagi perusahaan yang masih terdampak Covid-19.
Dalam kondisi tersebut, kata dia, nilai THR dan sistem pembayarannya harus dirundingkan secara bipartit dengan serikat pekerja dan/atau perwakilan buruh jika di perusahan tidak ada serikat pekerja.
"Dalam perundingan itu, perusahaan yang terdampak Covid-19 wajib membuktikan ketidakmampuannya kepada buruh, dengan berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan," ujar dia.
Namun demikian, kata Said Iqbal, ketidakmampuan perusahaan tidak boleh menjadi alasan untuk tidak membayar THR. Bagi pengusaha yang tidak mampu, paling lambat H-1 sebelum hari raya harus sudah menyelesaikan pembayaran THR. Karena itu, KSPI mendesak aturan dalam surat edaran itu ditegakkan.
KSPI juga mendesak Menaker untuk meningkatkan peran posko THR-nya dengan pro aktif melalui Dinas Tenaga Kerja di daerah memeriksa apakah pengusaha sudah membayar THR 2021 atau belum. Dengan demikian, surat edaran Menaker tersebut memiliki dampak penegakan hukum, tidak hanya aturan main saja.
"THR akan meningkatkan daya beli dan akhirnya meningkatkan konsumsi. Bahkan diperkirakan akan terjadi ekonomi perburuhan dari uang THR yang berputar, yakni Rp 230 triliun atau 10 persen dari APBN. Sungguh besar nilainya," kata Said Iqbal. Ketika konsumsi meningkat, ujar Said Iqbal, maka akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menuju positif.