Pernyataan tersebut yang kemudian membantu menjinakkan imbal hasil Treasury AS, dengan patokan merosot ke 1,6048 persen pada Rabu. Dengan begitu, imbal hasil obligasi turun dari tertinggi lebih dari satu tahun di 1,7540 persen yang disentuh minggu lalu.
Kekhawatiran pasar, menurut Ibrahim, juga semakin bertambah setelah ada sanksi hak asasi manusia terhadap Cina yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, Eropa dan Inggris, dan mendorong sanksi pembalasan dari Beijing.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia dinilai sudah cukup baik dalam menjaga kondisi ini, terlihat pelemahan mata uang rupiah tidak menimbulkan kepanikan. Pasalnya, sudah tidak ada lagi amunisi bank sentral untuk menahan rupiah agar tidak melemah.
Ibrahim menyebutkan ada beberapa pilihan buat bank Indonesia untuk menstabilkan mata uang rupiah yaitu menaikkan suku bunga, melepaskan rupiah atau mengontrol modal. "Kalau menaikkan suku bunga untuk saat ini belum bisa di jalankan karena saat ini Indonesia dalam masa pemulihan dan akan memperburuk ekonomi dalam negeri," ucapnya.
Selain itu, guna menopang pertumbuhan ekonomi kembali berjalan perlu ada keberanian untuk membuka PPKM Mikro terutama di Jawa-Bali berdasarkan wilayah yang sudah mengalami penurunan dalam Covid-19. "Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuasi, tetapi ditutup melemah di rentang Rp.14.400 - Rp 14.470," kata Ibrahim.
BISNIS
Baca: Rupiah Ditutup Menguat Usai Gubernur The Fed Menyebut Ekonomi AS Membaik