Menurut Sri Mulyani, Pajak Penghasilan Migas mengalami pukulan paling dalam. Hal ini disebabkan harga minyak yang belum pulih dan lifting minyak yang di bawah asumsi pemerintah. Tahun ini, pemerintah mengumpulkan Rp 33,2 triliun dari PPh migas. Capaian itu melebihi target di Perpres 72/2020 yang sebesar Rp 31,9 triliun.
Namun, angka tersebut terkontraksi 43,9 persen dibanding realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 59,2 triliun. Angka tersebut juga di bawah target awal pemerintah Rp 57,4 triliun.
Adapun pajak non-migas terkumpul sebanyak Rp 1.036,8 triliun. Angka tersebut hanya 88,8 persen dibanding target di Perpres 72/2020 yang sebesar Rp 1.167 triliun. Dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 1.273,5 triliun, realisasi tahun ini terkontraksi 18,6 persen.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan penyebab terjadinya shortfall pajak selain akibat perekonomian yang turun dan pemberian insentif, juga disebabkan oleh keterbatasan dalam melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak.
Ia menjelaskan, insentif yang diberikan pemerintah di 2020 adalah sekitar Rp 56 triliun, di antaranya Rp 3,4 triliun berasal dari pajak ditanggung pemerintah, sisanya pajak foregone sekitar Rp 52,7 triliun. "Ini kira-kira gambaran kenapa tahun 2020 pajak mengalami penurunan sekitar 19,7 persen," ujar Suryo.
Baca: Rencana PSBB Jawa Bali, Sri Mulyani: Kalau Tidak Dilakukan, Malah Getting Worse