TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan rendahnya pertumbuhan kredit selama pandemi Covid-19 terpengaruh oleh permintaan atau demand dari masyarakat yang rendah. Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan kredit pada September hanya 0,12 persen.
“Ini berkaitan dengan faktor demand. Karena dampak Covid-19, kegiatan menurun,” ujar Perry dalam acara Capital Market Summit and Expo yang ditayangkan secara virtual pada Senin, 19 Oktober 2020.
Padahal, Perry mengungkapkan bank sentral telah mendorong pertumbuhan kredit dengan berbagai cara, terutama dari sis suplai. Belum lama ini, Bank Indonesia mengguyur perbankan dengan suplai likuiditas atau quantitative easing (QE) sebesar Rp 667,6 triliun.
Likuiditas perbankan yang kuat ini mendorong peningkatan dana pihak ketiga atau DPK yang pada September lalu tumbuh 12,8 persen. BI mencatat likuiditas per DPK berada di posisi 31,2 persen.
Pada saat seperti ini, Perry mengatakan otoritas keuangan terus menggenjot absorpsi atau penyerapan anggaran agar lebih cepat terealisasi. “Ini untuk menyocokkan suplai dan demand kredit,” katanya.
Di samping itu, Perry menyebut penyaluran kredit tetap bakal didorong, utamanya ke sektor-sektor industri makanan dan minuman yang tumbuh selam pandemi, untuk mendukung kegiatan ekonomi. “Bagaimana kita dorong pemulihan ekonomi, menyalurkan kredit, khususnya sektor-sektor yang jadi leading pemulihan ekonomi. Itu terefleksi dari pergerakan IHSG ke depan,” ucapnya.
Baca: Permintaan Kredit Terus Turun Tapi Simpanan di Bank Naik, Respons Bos OJK?