Dalam aturan sebelumnya, pemerintah membatasi ukuran maksimal kapal tangkap sebesar 150 Gross Tonnage (GT) dan kapal angkut 200 GT dengan alasan untuk memberi kesempatan berusaha yang sama bagi nelayan kecil. Menurut Yugi, aturan tersebut membuat kapal penangkap tidak bisa ke laut lepas dan ZEEI, baik untuk menghadapi gelombang maupun untuk penampungan ikan di palka sehingga menjadi tidak efisien.
"Surat itu sangat di sambut antusias oleh pelaku usaha perikanan. Ongkos angkut kapal 150 GT dari Papua hanya bisa mengangkut sekitar 90 ton, sehingga ongkos angkut per kilogram (kg) jadi mahal mencapai Rp 6-7 ribu/kg, sehingga jadi sangat mahal," ujar Yugi.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang Kelautan, Ono Surono, mengatakan pencabutan aturan itu bisa meningkatkan usaha perikanan tangkap dan produksi ikan di Indonesia. Menurut dia, sumber daya ikan sangat melimpah, namun baru setengah yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, pencabutan pembatasan itu bisa mencegah tindakan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing, khusunya di wilayah perbatasan.
"Untuk bisa beroperasi ke wilayah itu maka diperlukan kapal-kapal ikan kapasitas besar. Setelah SE dicabut maka pengaturan masalah kapal perikanan sepenuhnya harus diatur oleh Permen Usaha Perikanan Tangkap," ujar Ono.
Baca juga: KKP Cabut Surat Edaran yang Mengatur Batas Ukuran Kapal Penangkap Ikan
LARISSA HUDA