Selain itu, Elis berujar penggunaan produk lokal bisa mempertahankan utilisasi dari industri alas kaki yang berimbas pada penekanan kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja. Dengan begitu, ujar Elis, daya beli masyarakat ikut terangkat.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan kebijakan itu tepat dikeluarkan di tengah pandemi. Menurut dia, sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri masih terbatas, misal dari konsumsi rumah tangga hingga belanja pemerintah. Saat ini, ujar Fithra, salah satu yang bisa diharapkan adalah pengendalian surplus neraca perdagangan.
Fithra berujar potensi retaliasi perdagangan tetap ada, terutama dari Cina yang jadi sasaran utama pengaturan impor alas kaki. Namun, pada masa pandemi ini retaliasi bukanlah prioritas bagi mitra dagang Indonesia. Apalagi, kata dia, yang diatur importasinya adalah barang konsumi. Menurut dia, banyak kelompok barang lain yang masih diimpor oleh Indonesia.
"Ini tidak mempengaruhi kinerja industri karena yang diatur itu barang konsumsi. Ini bukan pembatasan di barang modal atau barang kebutuhan industri yang justru sudah direlaksasi, ujar Fithra.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi sebelumnya mengatakan beleid tersebut didorong kenaikan impor beberapa barang konsumsi secara signifikan. Didi mencatat pada Mei—Juni 2020 terjadi kenaikan impor barang konsumsi 50,64 persen.
Bahkan, kata dia, ada beberapa barang yang nilai pertumbuhannya di atas 70 persen. Lewat Permendag itu, pelaku usaha kini wajib memiliki Persetujuan Impor (PI) dan harus dilakukan verifikasi di pelabuhan muat yang tertuang dalam Laporan Surveyor (LS) untuk memastikan kebenaran produk/ barang yang diimpor.
Baca juga: Asosiasi Prediksi Nilai Ekspor Alas Kaki Anjlok pada Kuartal III 2020
LARISSA HUDA