TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto mengusulkan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK memeriksa secara detail penyebab kerugian Pertamina.
"Saya mengusulkan di forum ini mudah-mudahan bisa diusulkan agar BPK bisa memeriksa secara khusus kerugian itu, unsurnya di mana sebenarnya," kata Mulyanto dalam rapat Komisi VII DPR dengan Pertamina, Senin, 31 Agustus 2020.
Menurut dia, hasil penelusuran BPK bisa menarik pelajaran ke masa yang akan datang.
Pada kesempatan yang sama anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menilai kinerja keuangan Pertamina memang negatif. Tapi hal itu dialami semua industri yang terhenti akibat pembatasan sosial berskala besar pada kuartal I 2020.
"Itu merupakan hal yang tidak terhindarkan. Kalau saya lihat Pertamina jeblok tapi enggak buruk-buruk amat. EBITDA positif, kinerja per Juli juga masih membaik," ujarnya.
Dia menilai Pertamina perlu lebih fokus pada rencana pemulihan perseroan. Selain itu, kata dia, komunikasi Pertamina ke publik harus lebih ditingkatkan.
Semester I 2020, Pertamina tercatat rugi Rp 11,13 triliun.
Sebelumnya pada kesempatan yang sama, Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan perseroan mendapat tiga pukulan saat pandemi Covid-19 yang membuat mereka rugi pada semester I 2020. "Pertama, karena penurunan penjualan Pertamina," kata Emma.
Dia menuturkan volume penjualan bahan bakar minyak (BBM) atau bahan bakar khusus turun hingga 26 persen dari Juli 2019 yang berpengaruh terhadap pendapatan perseroan.
Pada kuartal II, kata dia, penurunan permintaan terdalam terjadi pada April 2020. Namun dari sisi penjualan, April menuju Mei sudah ada peningkatan. Dan dari Mei ke Juni meningkat 7 persen. Sedangkan pada Juli meningkat 5 persen.
Penyebab kedua, kata dia, adalah nilai tukar rupiah yang bergerak sangat fluktuatif. Fluktuasi rupiah memberikan tekanan pada keuangan perseroan. Sebab, pendapatan Pertamina sebagian besar dalam rupiah, namun pembelian minyak mentah dalam dolar Amerika Serikat.
Pada Desember 2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp 13.900 sedangkan pada Maret 2020 berada di kisaran Rp 16.367. "Ini secara buku, selisih yang sangat tajam," ujarnya.
Penyebab ketiga kerugian Pertamina, yaitu tertekannya Indonesia Crude Price (ICP) hingga level yang terendah pada April 2020 menjadi US$ 21 per barel. Hal ini berdampak pada kinerja keuangan Pertamina yang mempertahankan produksi lifting minyak dan gas. Pelemahan ICP itu berdampak pada inventory cost atau menumpuknya stok bahan bakar seperti avtur dan solar di Pertamina.
HENDARTYO HANGGI