Namun begitu, kata Aviliani, yang yang perlu diperhatikan adalah harus ada kesinambungan dengan keadaan. Dalam situasi Covid-19 dibutuhkan utang besar, maka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN boleh di atas 3 persen.
Aviliani menyebutkan, penggunaan utang yang baik memiliki multiplier effect ekonomi karena meningkatkan penerimaan pajak dan memungkinan kenaikan kemampuan bayar utang. Yang bahaya, kata dia, kecenderungan pergantian pemerintah setiap lima tahun itu bersamaan dengan perubahan visi.
Jika visi pengelolaan ekonomi tidak berkesinambungan, dapat membuat penerimaan pajak tidak makin naik, sehingga ketergantungan negara terhadap utang semakin meningkat. "Yang masalah adalah ketika kondisinya kita tidak bisa menambah pajak, akhirnya kita gali lubang tutup lobang," ucap Aviliani.
Bila demikian adanya, menurut dia, bisa jadi pada 2050, ketika bonus demografi sudah habis, Indonesia tak siap dengan pertumbuhan berkesinambungan. "Di situ lah kita akan jadi negara gagal, karena tidak bisa membayar utang," kata Aviliani.
Baca juga: Sri Mulyani: Pembiayaan Utang Hingga Akhir Juli, Rp 519,2 Triliun