TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Indef Aviliani yakin program Pemulihan Ekonomi Nasional yang saat ini digencarkan pemerintah guna mendorong sisi permintaan (demand) melalui stimulus dan bantuan dana kepada masyarakat tidak akan mengulang kesalahan pada krisis 1998 dalam kasus BLBI.
“Ketika BLBI itu, tidak ada pengawasan dana restrukturisasi seperti saat ini secara ketat. Dan dulu kan aturannya tidak seperti sekarang. Dana hanya diberikan pada institusi yang track record-nya bagus, tidak pernah menunggak kredit,” ujar Aviliani dalam Diskusi Publik Pemulihan Ekonomi Nasional Tepat Sasaran oleh Prodeep Institute, Sabtu, 27 Juni 2020.
Hal inilah yang mendorong mekanisme pengucuran dana subsidi bunga atas restrukturisasi usaha mikro kecil menengah (UMKM) yangdikelola bank umum anggota bank negara (Himbara). Selain itu, pada zaman BLBI belum ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi mekanisme restrukturisasi keuangan.
“Namun agar kredit ini efektif, saya menyarankan sisi demand ini diurus dulu. Demand dulu, lewat BLT [bantuan langsung tunai], sembako, semua digenjot dulu dari pemerintah dan harus dikaitkan demand-nya dengan produksi dalam negeri,” ucap Aviliani.
Dia menyatakan dari total 15,29 juta debitur potensial merestrukturisasi kredit, ada 41 persen yang sudah melakukan restrukturisasi. Sebesar 42 persen debitur non UMKM, dan 40 persen debitur UMKM juga sudah merestrukturisasi kredit.
Sampai dengan 10 Juni 2020 lalu, nilai restrukturisasi kredit pun mencapai Rp 655 triliun. Sebesar Rp 356 triliun dari non UMKM, dan Rp 298 triliun dari UMKM.
Dari sisi rumah tangga, saat ini banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, penurunan daya beli, tidak mampu membayar kredit, dan mengalami masalah kesehatan.
Dari sisi UMKM, terjadi penurunan aktivitas bisnis akibat PSBB, penutupan usaha, dan ketidakmampuan membayar angsuran. Dari sisi korporasi, terjadi penurunan permintaan, perusahaan pun mengurangi produksi, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan, kesulitan cash flow, dan restrukturisasi kredit. Dari sisi investasi asing, terjadi capital outflow, konversi dari investasi berisiko tinggi ke yang rendah.
Semua dinamika itu memberikan dampak ke sektor perbankan. Misalnya permintaan restrukturisasi kredit, terjadi masalah likuiditas, penurunan solvabilitas, dan tekanan terhadap pasar uang dan pasar modal. Dinamika lain sebagai imbas dari sektor rill adalah nilai tukar yang rentan serta ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan.
Oleh sebab itu untuk merevitalisasi sektor riil, Aviliani menegaskan demand side penting diatur. Secara sosial pengaturan dan penyelamatan ini dilakukan agar meredam potensi gejolak publik jika pendapatan masyarakat menurun terus dan konsumsi terganggu. Revitalisasi dan penguatan sisi permintaan ini menjadi penting karena kondisi ketidakpastian atas Covid-19 kemungkinan besar masih akan lama.
“Tren ini diprediksi mulai mereda jika vaksin sudah ditemukan. Vaksin pun memakan waktu lebih dari 6 bulan sampai setahun. Artinya potensi pulihnya masih tidak pasti, ini perlu diantisipasi,” ungkap Aviliani.
Saat ini sejumlah langkah dilakukan pemerintah untuk mendorong sisi permintaan yakni dengan perlindungan sosial melalui; program keluarga harapan, kartu sembako, diskon listrik, bantuan tunai non-Jabodetabek, bantuan langsung tunai dana desa, dan kartu pra-kerja.
Sementara perbaikan dari sisi supply antara lain; memberikan subsidi bunga, penempatan dana restrukturisasi UMKM dan padat karya, penjaminan, insentif pajak, dukungan insentif dan stimulus bagi pemda, BUMN, dan sektor pariwisata.
BISNIS