Menurut Jonan, yang dia lakukan sejatinya hanya menghidupkan kembali prinsip dasar bisnis: pelayanan bagus, pelanggan senang, mereka datang lagi, kereta api untung. Hasilnya total pendapatan KAI pada 2011 tembus Rp 6,3 triliun. Ini hanya pendapatan satu tahun, tapi jauh melampaui pendapatan selama tiga tahun dari 2000 sampai 2002 yang hanya Rp 5,73 triliun. "Numbers don't lie," kata Jonan saat itu.
Selain itu, Jonan juga disiplin menerapkan sistem piket, yang sebelumnya tak ada. Ia mewajibkan dirinya serta para direktur untuk bergabung. Alhasil, sebulan sekali Jonan bisa "mangkal" semalaman di stasiun kecil di luar Kota Bandung, kantor pusat KAI.
Selain itu, perubahan secara kasat mata juga terjadi di kereta api. Dulu penumpang Commuter Line Jabodetabek berjubel di atas atap kereta. Tapi kini, tak ada lagi kebiasaan semacam itu. Dulu di kereta jarah jauh, pedagang asongan bebas berjualan. Kini kebiasaan itu hilang.
Meski menghasilkan gebrakan, kinerja Jonan tak lepas dari kritik. Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan misalnya, pernah mengatakan Jonan adalah orang yang paling aktif menggusur pedagang.
"Penggusuran paling banyak akibat kebijakan dari Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia saat itu, Ignasius Jonan," kata Azas dalam acara diskusi bertema "Catatan Akhir Tahun 2014, Jakarta Belum Ramah HAM" di Jakarta Pusat, Ahad, 21 Desember 2014.
Menurut Azas, dari 17 wilayah penggusuran terhadap PKL, 15 wilayah (88 persen) di antaranya tidak melalui proses sosialisasi dan negosiasi. Sedangkan untuk dua daerah (12 persen) lainnya, pemerintah telah melakukan sosialisasi dan negosiasi dengan pedagang sebelum melakukan penggusuran.