TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengakui kebijakan pemerintah mengizinkan 30 kapal cantrang Jawa Tengah melaut di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, diambil tergesa-gesa. Sebab saat itu, ada kebutuhan mendesak untuk segera mengisi laut di lokasi tersebut, yang saat itu sedang dimasuki puluhan nelayan Cina.
"Natuna, harus diakui, karena kemarin kami agak tergesa-gesa," kata Edhy dalam rapat kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Komisi IV DPR di Jakarta, Selasa, 23 Juni 2020.
Sebab, kata Edhy, saat itu pemerintah ingin mengisi segera Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara, tepatnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711. "Ya kami ngisi dululah, walaupun kami tahu sangat tidak pas, tapi yang ada itu dulu, biar rame, meramaikan, jangan diisi nelayan lain," kata dia.
Sampai hari ini saja, Edhy menyebut dua pertiga dari 52 kapal asing yang ditangkap KKP, berasal dari Laut Cina Selatan. Laut ini berada persis di sebelah Laut Natuna Utara.
Meski demikian, keputusan itu tidak diambil sendirian oleh Edhy. Sebab saat itu, komando untuk mengatasi masalah nelayan Cina ini adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. "Tapi kami tidak akan tutup mata, kemudian cantrang asal dilaksanakan, tidak di semua tempat bisa digunakan" kata dia.
Pertengahan Februari 2020, KKP mengizinkan 30 kapal dengan alat tangkap cantrang beroperasi di wilayah ZEE Laut Natuna Utara. Kapal-kapal tersebut merupakan pemegang Surat Keterangan Melaut (SKM) asal Jawa Tengah.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyatakan pemberian izin operasi kapal cantrang ini dipicu insiden pada pertengahan Desember 2019 lalu. Sekitar 50 perahu nelayan Cina yang dikawal kapal penjaga (coastguard) masuk ke perairan Natuna pada pertengahan Desember 2019. Kapal tersebut diduga menangkap ikan secara ilegal.
Pemerintah mengatur strategi untuk meningkatkan pengawasan di wilayah tersebut. Salah satunya dengan memanfaatkan potensi perikanan di sana. Pemerintah berencana mengelola potensi perikanan yang belum optimal dengan menambahkan armada yang relevan serta membangun proses bisnis di sana.
Rencana penambahan armada direspons sekitar 400 pemilik kapal dari Jawa Tengah, mayoritas kapal cantrang. Zulficar menyatakan mereka mengajukan diri melaut di Natuna kepada Kementerian Politik Hukum dan Keamanan. "Dengan kondisi khusus kedaulatan, 30 kapal cantrang yang beroperasi dengan SKM di Jawa Tengah kami berikan untuk masuk ke ZEE Natuna Utara," katanya kepada Tempo, Senin 17 Februari 2020.
Dia menuturkan, saat ini terdapat sekitar 815 kapal ukuran di atas 30 Gross Tonnage (GT) yang beroperasi di wilayah Natuna. Namun mayoritas kapal berlayar di bagian selatan Natuna Utara. Armada baru rencananya akan diminta beraktivitas di dekat perbatasan. Menurut dia, masih ada potensi menambah armada baru hingga sekitar 300 kapal ke wilayah tersebut.
Penggunaan alat tangkap cantrang dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Khusus di Jawa Tengah, terdapat diskresi untuk mengoperasikan alat tersebut. Zulficar menyatakan diskresi tersebut yang menjadi landasan hukum bagi nelayan melaut.
Kapal-kapal cantrang itu akan beroperasi dengan perlindungan dari Kepolisian RI, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut. Zulficar telah mengirim surat kepada pimpinan ketiga lembaga tersebut pada 23 Januari 2020.
Dalam surat tersebut dia menjelaskan 30 kapal cantrang dari Jawa Tengah tidak memiliki Surat Laik Operasi dan Surat Persetujuan Berlayar. KKP tidak dapat menerbitkan Surat Izin Penangkapan Ikan, yang menjadi syarat kedua dokumen tersebut, bagi pengguna alat tangkap yang dilarang. Untuk itu, dia meminta ketiga lembaga tidak menangkap dan melakukan proses hukum kepada nelayan tersebut.
Menurut Zulficar, pemerintah juga membuka gerai perizinan untuk kapal lain yang tidak menggunakan alat tangkap cantrang. "Kami sudah membuka gerai perizinan di Tanjung Balai Karimun untuk mendorong kapal lokal dan dari berbagai wilayah untuk melengkapi kebutuhan yang ada," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menilai kebijakan pemerintah mengizinkan kapal cantrang dari Jawa Tengah ke Natuna berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan lokal dan tradisional. "Mereka masih mengambil dengan cara subsisten," ujarnya. Selain itu, kerusakan wilayah perikanan menjadi ancaman dengan penggunaan cantrang.
Pengamat perikanan Suhana menyatakan izin penggunaan cantrang menunjukkan sikap tidak konsisten pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan. "Sebaiknya pemerintah tetap konsisten menjalankan larangan alat tangkap tidak ramah lingkungan," katanya.
FAJAR PEBRIANTO