TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan hingga 13 Mei 2020 tercatat masih memiliki utang klaim yang jatuh tempo ke rumah sakit senilai Rp 4,4 triliun.
"Dengan Putusan MA, maka kami lihat kondisi BPJS Kesehatan sampai 13 Mei 2020, kami masih ada utang klaim jatuh tempo Rp 4,4 triliun," ujar Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Dasa dalam konferensi pers secara live streaming, Kamis, 14 Mei 2020.
Seperti diketahui, Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7/P/HUM/2020 membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP).
Secara keseluruhan outstanding klaim BPJS Kesehatan tercatat senilai Rp 6,21 triliun dengan utang klaim belum jatuh tempo senilai Rp 1,03 triliun. Adapun, yang sudah dibayar senilai Rp 192,54 triliun.
Kunta menjelaskan, putusan MA itu juga berdampak pada kondisi keuangan BPJS Kesehatan pada 2020 yang diperkirakan mengalami defisit senilai Rp 6,9 triliun. Angka ini termasuk menampung carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp 15,5 triliun.
Dari pertimbangan itu pemerintah melihat mulai 2021, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit yang semakin lebar. "Kondisi BPJS Kesehatan ini perlu ada perbaikan dan perlu ada langkah mengatasi defisit, perlu ada upaya mengatasi. Kalau kami lihat, kita ingin menuju univesal health coverage," kata Kunta.
Oleh karena itu belakangan Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 yang berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan bahwa aturan ini menekankan tujuan untuk menciptakan universal health coverage, kehadiran pemerintah, perbaikan layanan, dan penyesuaian iuran rutin setiap dua tahun sekali sesuai dengan Undang-undang.
Dengan aturan terbaru itu, ditetapkan besaran iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Sementara untuk April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres No.82 Tahun 2018, yaitu Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III. Adapun per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan khusus untuk peserta PBPU dan BP kelas III. Pada tahun 2020, iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp 25.500, sisanya sebesar Rp 6.500 diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.
Kemudian, pada 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp 35.000. Sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran BPJS Kesehatan untuk golongan peserta ini sebesar Rp 7.000.
Deputi Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan selaku Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menegaskan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan sudah melalui pertimbangan dari ahli yang independen dan kompeten.
"Penyesuaian iuran kalau pun diperlukan harus didasarkan berbagai pertimbangan dari ahli yang independen dan kompeten. Dalam menetapkan iuran peserta kami juga pasti melihat kemampuan peserta dalam membayar iuran," kata Achmad.
Penetapan kebijakan iuran BPJS Kesehatan naik itu juga melihat kemampuan masing-masing perserta. Karena sifatnya asuransi, BPJS Kesehatan juga mengakomodasi sistem gotong-royong antar segmen kepesertaan.
BISNIS