TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Agung Firman Sampurna menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait penyaluran kurang bayar dana bagi hasil (DBH) kepada pemerintah daerah. Menurut Agung, pembayaran DBH kepada pemerintah daerah tidak berkaitan dengan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang dilakukan BPK.
Agung menjelaskan, tidak ada hubungan pemeriksaan BPK dengan kewajiban pemerintah pusat dalam hal ini kementerian keuangan terkait dengan DBH kurang bayar kepada pemerintah daerah. "Silakan nanti dibaca surat resmi yang kami sampaikan kepada Menteri Keuangan," ujar Agung dalam konferensi video, Jakarta, Senin, 11 Mei 2020.
Berdasarkan Surat Nomor 59/8/1/4/2020 dari Ketua BPK Kepada Menteri Keuangan poin ke-5, Agung menjelaskan bahwa penggunaan penyelesaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2019 sebagai alat ukur untuk melakukan pembayaran tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan APBN secara keseluruhan.
Melalui surat itu, Agung menjelaskan bahwa BPK tidak pernah secara spesifik melakukan pemeriksaan yang secara khusus dibuat untuk pemeriksaan penerimaan negara. BPK hanya memasukkan pengujian atas penerimaan negara sebagai bagian dari pemeriksaan atas LKPP. Dengan demikian, prosedur yang dilakukan adalah dengan melakukan uji petik untuk menguji kewajaran dari nilai penyajian penerimaan negara.
Selanjutnya, menurut dia, penerimaan negara yang dibagihasilkan per daerah penghasil tidak diasersikan pada LKPP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tahun 139 Tahun 201 tentang pengelolaan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana otonomi khusus, alokasi kurang atau lebih bayar DBH dilaksanakan paling lama satu bulan setelah LHP LKPP Diterbitkan BPK. "Alokasi tersebut berdasarkan data realisasi penerimaan per daerah penghasil pada kementerian teknis atau unit terkait," tulis Agung.
Berdasarkan pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, alokasi DBH Migas dihitung berdasarkan data realisasi lifting migas pada Direktorat Jenderal Anggaran dan bukan berdasarkan realisasi PNBP Migas yang disajikan pada LKPP teraudit.
Menyitir catatannya, Agung mengatakan BPK dalam sepuluh tahun terakhir tidak pernah melakukan koreksi atas pendapatan dalam APBN, karena pendapatan negara dalam APBN menggunakan basis kas sehingga uang masuk selalu mudah diukur dengan tepat.
"Atas penjelasan tersebut, Kementerian Keuangan sesungguhnya dapat menggunakan realisasi penerimaan pada LKPP 2019 Unaudited sebagai dasar perhitungan alokasi pembayaran DBH dengan tetap mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku," tulis Agung.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan baru menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil DKI Jakarta sebesar Rp 2,6 triliun dari kewajiban Rp 5,16 triliun. Angka tersebut adalah akumulasi dari pelunasan kurang bayar tahun 2018 dan sebagian kurang bayar tahun 2019.
"Untuk DKI Jakarta, dari Rp 5,16 triliun, kami sudah membayarkan seluruh DBH 2018 yang masih kurang waktu itu karena perhitungan dan 2019 sudah Rp 2,58 triliun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Jumat, 8 Mei 2020. Sisa yang belum dibayarkan akan disalurkan setelah rampungnya audit BPK soal Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Sri Mulyani mengatakan mulanya total kurang bayar dana bagi hasil DKI Jakarta mencapai Rp 5,16 triliun dengan rincian sisa kurang bayar tahun 2018 sebesar Rp 19,35 miliar dan potensi kurang bayar 2019 Rp 5,16 triliun.
Belakangan, kata Sri Mulyani, beberapa daerah yang mengalami penurunan pendapatan asli daerah akibat dampak Virus Corona alias Covid-19, meminta pembayaran dana bagi hasil kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat sudah mengalokasikan kurang bayar dana bagi hasil 2019 yang belum diaudit sebesar Rp 14,71 triliun.
"Kami sudah bayarkan separuhnya dalam rangka membantu daerah yang memang menghadapi penerimaan asli daerahnya turun," ujar Sri Mulyani. Saat ini telah disalurkan untuk 5 provinsi dan 113 kabupaten/kota sebesar Rp 3,85 triliun pada April 2020.
Hal ini menjawab tudingan bahwa belum terbayarnya piutang dana bagi hasil atau DBH Pemprov DKI Jakarta yang menyulitkan pendanaan bantuan sosial atau bansos bagi 1,1 juta warga ibu kota yang terimbas Corona.
DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.