BPK selanjutnya menyoroti tafsir Dewan Pengawas soal status jabatan non-eselon yang setara menteri, DPR, ketua KPK, dan Ketua BPK. Achsanul mengatakan, hal itu tidak sesuai dengan Pasal 18 PP Nomor 13 Tahun 2015. Meski dalam praktiknya, Dewan Pengawas TVRI tetap memperoleh kendaraan dinas setara dengan eselon I dan menikmati fasilitas tiket penerbangan kelas bisnis.
Achsanul mengatakan ketidakselarasan ini menimbulkan konflik antara Direksi dan Dewan Pengawas TVRI. Karena itu, berdasarkan masalah-masalah yang ditemukan, BPK merekomendasikan lima hal. Pertama, Dewan Direksi dan Dewan Pengawas TVRI mesti melakukan koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan untuk merevisi PP Nomor 13 Tahun 2005.
Kedua, Dewan Pengawas TVRI harus melakukan penilaian kinerja Dewan Direksi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, Dewan Pengawas TVRI tidak diperkenankan menafsirkan jabatannya sendiri yang tidak diatur dalam undang-undang.
Keempat, Ketua Dewan Pengawas TVRI mesti mencabut Keputusan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Kerja Hubungan Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Kelima, Dewan Direksi dan Dewan Pengawas TVRI mesti menyusun dan menetapkan tata hubungan kerja antar-keduanya yang disepakati sesuai tugas, fungsi, dan wewenang seperti dalam beleid yang berlaku.
Selain mengaudit TVRI, BPK turut menyerahkan laporan pemeriksaan terhadap LPP RRI. Meski poin rekomendasi yang diserahkan parlemen sama, Achsanul memastikan tak menemukan masalah menonjol dalam audit RRI.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menerangkan topik audit kinerja yang berkaitan TVRI dan RRI akam ditindaklanjuti oleh lembaga legislatif. "Kami akan segera menyerahkan ke Komisi I melalui Badan Musyawarah untuk dibahas," tuturnya.