TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Bidang Komunikasi Kementerian BUMN Arya Sinulingga menganggap masa depan industri farmasi sangat cerah.
"Industri farmasi ini di dunia ini besarnya US$ 7,6 triliun. Hebatnya lagi pertumbuhan biaya kesehatan negara hampir selalu 2 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi negara. Jadi kalau Indonesia pertumbuhan ekonominya 5 persen maka biaya kesehatan tumbuh 2 kali lipatnya atau 10 persen. Jadi industri farmasi prospeknya besar sekali," kata Arya di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa, 4 Februari 2020.
Arya berharap terbentuknya sub holding farmasi bisa menekan impor Indonesia terhadap bahan baku obat dan obat-obatan yang berasal dari Cina serta India.
"Nah diharapkan nanti dengan sub holding ini, maka terbangunlah kemandirian obat dan alat kesehatan yang selama ini 90 persen sampai 94 persen itu masih impor. Sementara Indonesia itu adalah sumber keberagaman untuk keragaman hayati, harusnya kita mengendalikan ini untuk mengurangi impor," ucapnya.
Guna memperkuat peran holding farmasi tersebut, pemerintah akan membentuk kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Menurut Arya, ada 3.202 perguruan tinggi di Indonesia dan 85 Fakultas Kedokteran yang bisa diajak kerja sama. Dia berharap kerja sama tersebut bisa mengurangi impor bahan baku obat-obatan.
Menteri BUMN Erick Thohir telah membuat Perusahaan Induk (holding) Farmasi sejak 31 Januari 2020 yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) no 862/KMK.06/2019.
Holding farmasi ini terdiri dari tiga BUMN yang dipimpin oleh PT Bio Farma (Persero) sebagai induk holding, diikuti PT Kimia Farma Tbk, dan PT Indonesia Farma (Indofarma) Tbk.
EKO WAHYUDI