TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen maskapai Sriwijaya Air meminta utang perusahaan terhadap PT Garuda Indonesia Persero Tbk direstrukturisasi. Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena mengatakan pihaknya akan menggandeng auditor keuangan independen untuk meninjau ulang tanggungan perusahaan terhadap BUMN.
"Jadi dilihat penagihan selama ini berapa besarnya. Lalu, berapa tagihan yang sudah kami bayarkan. Apakah valid dengan penagihan itu atau tidak jumlahnya," ujar Jefferson di kantor Sriwijaya Air, Senin, 20 Januari 2020.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi anak usaha Garuda Indonesia, Garuda Maintenance Facility (GMF), piutang perusahaan perusahaan di Sriwijaya Air tercatat senilai US$ 52,5 juta atau Rp 735 miliar dengan hitungan kurs Rp 14 ribu. Perusahaan mengenakan bunga atas keterlambatan pembayaran sebesar 0,1 persen per hari.
Lantaran bunga itu, utang perusahaan per November 2019 ditengarai membengkak menjadi Rp 850 miliar. Utang tersebut diklaim bertambah justru saat Sriwijaya Air menjalin kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia.
Akibat persoalan itu, Jefferson akan meminta auditor keuangan untuk menelaah sebab-sebab perusahaannya tak cuan. "Kami butuh auditor independen. Hasil audit itu yang akan menjawab mengapa utang kami justru bertambah karena itu yang sampai saat ini jadi pertanyaan kami," tuturnya.
Selain memiliki utang dengan Garuda Indonesia Group, Sriwijaya memiliki catatan liabilitas terhadap PT Pertamina Persero. Utang perusahaan terhadap Pertamina pada September 2019 mencapai Rp 791,4 miliar.
Selain kepada dua BUMN itu, Sriwijaya Air sejatinya memiliki tanggungan kepada BNI, Angkasa Pura I, dan Angkasa Pura II. "Namun, utang kami ke BNI dan Angkasa Pura bersifat current," ucapnya. Jefferson memungkinkan auditor juga akan mengaudit utang perusahaan kepada BNI, Pertamina, dan Angkasa Pura.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA