TEMPO.CO, Jakarta - Sebelum ramai dibahas banyak pihak soal portofolio saham PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero) yang rontok belakangan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rupanya pernah mengaudit perusahaan asuransi pelat merah tersebut pada 2016.
Dalam temuannya, BPK menyebutkan pengelolaan investasi di Asabri tidak efektif dan efisien. “Hampir sama dengan Jiwasraya,” kata Anggota III BPK Achsanul Qosasi saat dihubungi Tempo di Jakarta, Sabtu, 11 Januari 2020.
Dalam kasus Jiwasraya, kesalahan dalam pengelolaan investasi ditengarai telah menjadi penyebab default atau gagal bayar Rp 12,4 triliun. Sementara di Asabri, kata Achsanul, masih ada arus kas dari premi anggota sekitar Rp 1 triliun setiap bulan, maka likuiditas dari Asabri tetap terjaga.
Sebelumnya, harga saham-saham yang menjadi portofolio Asabri berguguran lebih dari 90 persen sepanjang 2019. Akibatnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto pun mengingatkan agar Asabri mematuhi tata kelola investasi yang telah diterbitkan pemerintah.
Lebih lanjut, hasil temuan BPK ini tertuang jelas dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2016. Pemeriksaan atas Asabri dalam IHPS ini menyangkut efektivitas penyaluran pembayaran pensiun dan efisiensi pengelolaan investasi tahun buku 2015 dan semester I tahun 2016.
Secara keseluruhan, BPK mencatat adanya 15 temuan yang memuat 19 permasalahan. Temuan ini terdiri atas 5 permasalahan ketidakefisienan senilai Rp 834,72 miliar, 12 permasalahan ketidakefektifan, 1 permasalahan potensi kerugian negara senilai Rp 637,1 miliar, dan 1 permasalahan kekurangan penerimaan senilai Rp 2,31 miliar
Lebih rinci, ada dua temuan besar BPK yaitu keterlanjuran bayar atas pensiun punah dan pembelian saham yang tidak sesuai perjanjian awal. Keduanya yaitu:
Pertama, BPK menemukan keterlanjuran bayar atas pensiun punah minimal sebesar Rp 2,31 miliar belum disetorkan oleh mitra bayar sesuai perjanjian kerja sama (PKS). Menurut BPK, kondisi ini terjadi karena Asabri belum membuat aplikasi pelayanan terpadu (Yandu) untuk pembayaran pensiun dan aplikasi santunan yang belum terintegrasi dengan baik.
Kedua, BPK menemukan kondisi dimana Asabri membayarkan uang kepada PT WCS untuk pembelian saham senilai Rp 802 miliar. Namun, Asabri tidak pernah menerima saham PT HT sesuai yang diperjanjikan dalam Memorandum Of Understanding (MoU), dari PT WCS. Sebab, saham itu telah dijual WCS ke pihak lain.
Atas temuan itu, BPK memberikan dua rekomendasi kepada Asabri. Pertama, membuat aplikasi Yandu untuk pembayaran pensiun dan aplikasi santunan yang terintegrasi dengan baik. Kedua, menerapkan prinsip kehati-kehatian, berpegang teguh pada asas good corporate governance (GCG) dan memperhatikan kepentingan perusahaan dalam melakukan penempatan investasi.