TEMPO.CO, Jakarta - Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Achsanul Qosasi mengatakan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero) pernah diaudit oleh BPK pada 2016.
Dalam temuannya, BPK menilai pengelolaan investasi di Asabri tidak efektif dan efisien. “Hampir sama dengan Jiwasraya,” kata Achsanul saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 11 Januari 2020.
Sebelumnya, harga saham-saham yang menjadi portofolio Asabri berguguran lebih dari 90 persen sepanjang 2019. Dari keterbukaan informasi diketahui ada 14 saham yang masuk ke dalam portofolio Asabri. Namun, Asabri melepas seluruh investasinya di PT Pool Advista Finance Tbk. (POOL) pada Desember 2019.
Akibatnya, saham POOL terjun paling dalam di antara portofolio Asabri lainnya dengan penurunan 96,93 persen sepanjang 2019. Bahkan, saham tersebut disuspensi hingga kini sejak 30 Desember 2019, dengan level harga penutupan Rp 156.
Pada 8 Januari lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto mengingatkan agar Asabri mematuhi tata kelola investasi yang telah diterbitkan pemerintah. "Pedoman investasinya ada, tetapi (yang utama) kebijakan berinvestasi (oleh direksi) harus sesuai dengan tata kelola yang baik," kata Hadiyanto di Istana Wakil Presiden Jakarta.
Namun tidak seperti Jiwasraya, Achsanul mengatakan Asabri masih memiliki cash flow atau arus kas setiap bulan. Jumlahnya sekitar Rp 1 triliun dari iuran premi anggota TNI, Polri, dan PNS di Kementerian Pertahanan dan Polri yang menjadi anggota mereka.
Sehingga, kata dia, Asabri tidak memiliki masalah dalam pembayaran klaim. Itu sebabnya, Asabri akan tetap likuid dan tidak akan kekurangan likuiditas. Sementara Jiwasraya, harus menderita default atau gagal bayar klaim Rp 12,4 triliun.
Di tubuh Jiwasraya, masalah dalam investasi juga terjadi. Beberapa hari sebelumnya, Selasa, 7 Januari 2020, Achsanul menceritakan bahwa BPK telah pernah melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) di bisnis Jiwasraya pada 2014-2015.
Menurut Achsanul, salah satu masalah di Jiwasraya ada pada investasi dana nasabah pada saham gorengan. “Kami sudah bilang, balikin saham yang enggak bagus itu menjadi saham LQ45 atau saham BUMN,” kata dia saat ditemui di Gedung BPK, Jakarta Pusat.
Pengalihan pun dilakukan. Namun, dana investasi pun hanya digunakan untuk membeli saham dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) dan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR).
Seharusnya, kata Achsanul, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun bisa menyetop keberadaan saham-saham gorengan ini. Sebuah saham disebut gorengan saat mengalami fluktuasi nilai secara drastis akibat permainan pelaku pasar. “Cabut produk izin dari OJK, tapi tidak dilakukan,” kata dia.
FAJAR PEBRIANTO