TEMPO.CO, Pangkalpinang - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Zona pertambangan timah dengan zona wilayah tangkap nelayan yang diatur dalam Raperda tersebut dinilai tumpang tindih.
Direktur Walhi Bangka Belitung Jessix Amundian mengatakan terjadinya tumpang tindih zonasi tambang dan nelayan itu membuktikan adanya kesalahan fatal dalam raperda tersebut.
"Zona tangkap nelayan harus steril dari pertambangan karena nelayan sangat bergantung dengan kelestarian ekosistem laut. Jika dirusak oleh tambang, maka habislah tempat mencari nafkah nelayan," ujar Jessix kepada wartawan, Sabtu, 7 Desember 2019.
Menurut Jessix, zona tangkap nelayan dengan zona pertambangan seperti minyak dan air yang tidak mungkin bisa disatukan. Kalau dipaksa disatukan, kata dia, maka sudah jelas posisi nelayan yang akan tersingkir.
"Untuk itu zona tangkap nelayan harus zero tambang. Dokumen final RZWP3K itu harus melindungi wilayah potensial zona tangkap nelayan yang melimpah dengan sumber pangan laut," ujar dia.
Jessix menuturkan terdapat 26 jenis perikanan tangkap yang selama ini menjadi sumber penghasilan nelayan di Bangka Belitung dengan total penghasilan sekitar Rp 13,86 miliar setiap tahunnya.
"Data itu dari hasil catatan rekapitulasi hasil tangkap nelayan di tempat penampungan ikan di wilayah pesisir yang melaut dengan kapal berkekuatan mesin 15 sampai 30 PK," ujar dia.
Jessix menambahkan RZWP3K Bangka Belitung sudah memasuki tahap finalisasi setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengundang stakeholder terkait untuk memberikan tanggapan dokumen.
"Dalam dokumen final itu alokasi ruang yang tercantum masih terdapat tumpang tindih. Selain itu terdapat kejanggalan pada zona pertambangan dengan zona alur pelayaran dan kejanggalan pada zona pertambangan dengan zona konservasi dan migrasi mamalia serta biota laut," ujar dia.