TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkapkan bahwa fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang ekonomi syariah kerap dianggap tidak syariah.
"Banyak yang memahami hukum ini sangat tekstualis. Sehingga tidak jarang fatwa DSN dianggap tidak syariah," kata Ma'ruf saat berdialog dengan Asosiasi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Indonesia (APHESI) di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 25 November 2019.
Ma'ruf mengatakan, mereka yang berpikir seperti itu karena tidak memahami struktur proses melahirkan fatwa tersebut. Sebab, dalam DSN selalu mengunakan makharij atau solusi. Salah satu kendala yang kerap ditemui adalah mengenai percampuran modal yang syariah dan ribawi.
Di Timur Tengah, jika modal halal dan haram bercampur maka seluruh modal itu dianggap haram. Sedangkan di Malaysia dianggap halal semua. Adapun di Indonesia memiliki mazhab berbeda, yaitu melalui tafriq atau pemisahan. Sehingga, modal yang ada unsur tidak halalnya, hasilnya menjadi halal.
"Kalau campur boleh, cuma yang halal hasilnya halal, yang haram menjadi halal maka di-tafriq. Itu pandangan yang kita gunakan," kata dia.
DSN, kata Ma'ruf, tidak membolehkan modal yang kebanyakan ribawi. Menurut dia, sepanjang ribawinya lebih sedikit maka dibolehkan. Landasan berpikir untuk ekonomi syariah ini kerap disamakan dengan mazhab untuk makanan.
Ma'ruf menuturkan, makanan yang masih samar halal dan haramnya akan dianggap subhat. Makanan baru bisa disebut halal jika sudah ada penelitian yang membuktikannya halal.
"Kalau makanan campur, haram semua karena enggak bisa dipisah. Semua makanan jadi haram karena campur dengan babi. Walaupun babi diangkat tetap haram," kata Ma'ruf Amin." Kalau uang itu bisa dipisah. Makanya boleh campur dengan masing-masing modal haram untung halal, modal halal untungnya halal. Karena bisa dipisah, bisa di-tafriq."